Swedia Mengadopsi Tradisional, Indonesia Menjajaki Digital: Siapakah yang Akan Unggul?

ILUSTRASI: Perbandingan Kurikulum Pendidikan Swedia dan Indonesia [illustration by AI]

Oleh : Mukhlisa*

Swedia dan Indonesia: Dua Jalan Pendidikan yang Berbeda

Baru-baru ini, Swedia mengejutkan dunia pendidikan dengan langkah berani mereka kembali ke kurikulum tradisional. “Nos dimos cuenta de que habíamos perdido el rumbo” dikutip dari pidato Menteri Pendidikan Swedia, Loltta Edholm dalam media massa huffingtonpost.es (12/05/2024) yang artinya “Kami menyadari bahwa kami tersesat”.

Kebijakan ini menekankan kembali pentingnya buku cetak, pembelajaran tatap muka, dan kurikulum yang sederhana. Sebaliknya, Indonesia sedang gencar-gencarnya mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran melalui Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembelajaran berbasis proyek (PjBL) dan literasi digital. Kedua negara, meskipun berada di jalur yang berbeda, menghadapi tantangan yang sama tentang bagaimana mencetak generasi yang siap menghadapi masa depan?.

Mengapa Swedia Kembali ke Tradisional?

Dikutip dari kompas.com (16/01/2025) langkah Swedia ini didorong oleh kekhawatiran terhadap penurunan keterampilan dasar siswa, dimana transisi pendidikan tersebut dianggap tidak memberikan hasil yang diharapkan. Sebuah laporan dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) menunjukkan penurunan signifikan terhadap keterampilan siswa di Swedia terus menurun pada 2016-2021. Dalam dekade terakhir, integrasi teknologi tanpa batas dinilai menjadi salah satu penyebabnya. Dikutip dari detik.com (17/01/2025) bahwa Menteri Pendidikan Swedia, menyatakan bahwa siswa membutuhkan lebih banyak buku pelajaran fisik, menekankan pentingnya pengetahuan yang disampaikan oleh guru dan sumber yang terverifikasi.

Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi memberikan banyak kemudahan, namun ia juga dapat membawa konsekuensi yang tak terduga. Dikutip dari metrotvnews.com (18/0/2023) Institut Karolinska di Swedia dengan tegas mengatakan “ada bukti ilmiah yang jelas bahwa alat-alat digital justru merugikan, bukannya meningkatkan pembelajaran siswa”. Para ahli juga berpendapat bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi digital kemungkinan telah berdampak negatif pada keterampilan dasar siswa –monitor.day (1/019/2025). Hal ini menunjukkan adanya jarak antara penggunaan teknologi dan efektivitas pembelajaran.

Indonesia dan Literasi Digital: Menuju Era Baru

Di sisi lain, Indonesia sedang memasuki era transformasi digital. Kurikulum Merdeka yang diterapkan sejak beberapa tahun terakhir menawarkan fleksibilitas dan fokus pada 21st century competencies. Platform seperti Ruang Guru dan Zenius semakin populer di kalangan siswa Gen Z karena menyediakan pembelajaran interaktif berbasis teknologi.

Namun, tantangan besar di Indonesia adalah literasi dasar siswa yang masih rendah. Berdasarkan data PISA 2018, 70% siswa Indonesia berada di bawah level kecakapan membaca yang diharapkan. Bahkan dengan teknologi, apakah Indonesia mampu memastikan siswa memahami konsep dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung?

Hal ini sesuai dengan cerita salah seorang guru di perbatasan kota Balikpapan yang menggambarkan realitas ini. Dengan keterbatasan akses internet, ia harus mencetak modul digital agar siswanya bisa belajar. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi pendidikan tidak selalu cocok di semua wilayah.

Tradisional vs. Digital, Apa Kata Teori?

Menurut teori Zone of Proximal Development (ZPD) dari Lev Vygotsky (1978), belajar paling efektif terjadi ketika siswa mendapatkan dukungan langsung dari guru atau fasilitator, terutama pada usia dini. Hal ini mendukung langkah Swedia untuk kembali memperkuat interaksi tatap muka dan menggunakan buku cetak.

Namun, Teori Constructivism dari Piaget (1971) dan 21st Century Skills Framework menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis eksplorasi dan kolaborasi. Indonesia, dengan kurikulum digitalnya, mencoba menerapkan prinsip ini untuk membangun keterampilan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas.

Kedua teori ini menunjukkan bahwa baik pendekatan tradisional maupun digital memiliki tempatnya masing-masing. Yang diperlukan adalah menemukan keseimbangan.

Pelajaran dari Swedia untuk Indonesia

Swedia memberi pelajaran penting tentang teknologi saja tidak cukup untuk menciptakan generasi yang cerdas. Literasi dasar tetap menjadi fondasi yang tidak bisa diabaikan.

Namun, Indonesia juga mengajarkan dunia bahwa teknologi adalah alat yang sangat berharga untuk menjangkau siswa di daerah terpencil dan meningkatkan keterampilan abad ke-21. Seperti penerapan Google for Education di banyak sekolah urban yang membantu siswa belajar coding sejak dini.

Jadi, siapakah yang akan unggul? Jawabannya bukan tentang siapa yang lebih baik antara Swedia atau Indonesia, tetapi siapa yang bisa memadukan kekuatan tradisional dan digital dengan cara yang tepat.

Keseimbangan adalah Kuncinya

Di dunia pendidikan, tidak ada pendekatan tunggal yang sempurna. Swedia memilih untuk kembali ke tradisional karena mereka ingin memperbaiki fondasi literasi dasar siswa. Indonesia, di sisi lain, mencoba memanfaatkan teknologi untuk membangun keterampilan yang relevan di masa depan.

Pesan kami untuk pendidik milenial dan Gen Z: Jangan takut untuk bereksperimen dan menggabungkan kedua pendekatan ini. Gunakan teknologi untuk memperkuat pembelajaran dasar, bukan menggantinya. Dan untuk Gen Z, jadilah generasi yang cerdas memanfaatkan teknologi, bukan sekadar pengguna pasif.

“Pendidikan masa depan tidak akan dimenangkan oleh yang tradisional atau yang digital, tetapi oleh mereka yang mampu mengintegrasikan keduanya dengan bijak.”

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana MP – UAD Yogyakarta

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *