Kisah Pengantin Baru Berbulan Madu di ‘Rumah Liar’

[ILUSTRASI] Pengantin baru di rumah liar di Batam.* [Foto: Istimewa/MCU]

Ummulqurahidayatullah.id | WAKTU itu umur pernikahan kami masih sangat baru. Sudah lumrah jika seorang istri pasti akan mengikuti tempat tinggal di mana suaminya bekerja.

Mendengar lokasi tugas suami yang tidak dekat dari tempat tinggalku, biasanya butuh satu kali transit pesawat, membuat jiwa bertugas dalam diriku bergelora.

Tapi banyak kudengar bahwa tempat tugas yang akan kami tuju memiliki daya tarik lain. Entah apa itu.

Juli 2017 saat itu. Kami boarding di Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur. Kami yang baru kenal tiga hari saling duduk bersisian. Kesan pertemuan pertama sepasang anak pertama menyiratkan ke-jaim-an sepanjang perjalanan menuju Kota Makassar. Hampir dua pekan kami bersilaturahim ke keluarga besar suami di Provinsi Sulawesi Selatan.

Singkat cerita, kami berangkat ke tempat tugas suami sekaligus tempat tugas baruku. Kota seribu ruko, Batam.

Sesuai prediksi, perjalanan menuju Batam, Kepulauan Riau, harus melalui satu kali transit. Saat itu burung besi yang kami tumpangi singgah di Bandara Ngurah Rai, Bali, kemudian lanjut ke Bandar Udara Internasional Hang Nadim.

Tiga jam penerbangan yang sangat panjang. Kesempatan murajaah hafalan Al-Qur’an sambil berdzikir.

Tiba di Batam, cuaca di wilayah ini 11-12 dengan Balikpapan yang dua minggu lalu kutinggalkan. Setelah memilih taksi kami segera menuju tempat kerja suami.

Pantaslah kota ini dijuluki sebagai kota seribu ruko. Sejak keluar bandara sampai memasuki halaman tempat kerja suami, terlihat sambung menyambung bangunan ruko. Mulai dari yang dua lantai, tiga lantai, sampai empat lantai. Mulai dari yang desainnya sederhana hingga yang futuristik.

Halaman kompleks tempat suami bekerja terlihat luas, dikelilingi gedung-gedung sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Beberapa mobil dan sepeda motor tersusun rapi, sebagian ada yang masih lalu lalang di jalanan kompleks.

“Mungkin ini salah satu daya tariknya,” gumamku mengasesmen tempat baru bagiku ini.

Supir taksi mengarahkan setir ke depan perumahan setelah mendengar pesanan dari suamiku. Tidak terlalu banyak orang di wilayah kompleks pada saat itu, kemungkinan masih di dalam ruang kelas atau ruang kerja masing-masing.

Kisah ‘Ruli’

Pekan-pekan pertama kami di rumah ‘baru’ ini adalah fokus melengkapi perlengkapan sekunder dalam rumah tangga, khususnya dapur. Padahal sebelumnya kami tahu rumah ‘baru’ ini hanya persinggahan. Tugas suami sebenarnya adalah penanggung jawab di Kampus Tiga, sebutan untuk kampus lain tempat suami bekerja.

Suatu waktu, saat suami masih bolak-balik merapikan area sekitar Kampus Tiga, aku yang belum pernah melihat kondisi calon rumah ‘baru’ di Kampus Tiga, penasaran.

Alhasil, sore itu suami memacu sepeda motor pinjamannya agar bisa melewati area Kampus Tiga. Sepanjang jalan, dalam benak tak muluk- muluk ekspektasiku pada calon rumah baru. “Itu, Dek, rumahnya!” kata suami.

Rumah itu sangat alamiah. Berhadapan dengan turunan jalan, atapnya bersebelahan dengan jalanan setapak di atas. Mungkin tingginya tak lebih dari 6 meter. Alang-alang tampak tumbuh lebih tinggi daripada pagar depan rumah, maklum mungkin sudah lama tak dihuni.

Tahu tenda tentara? Itu masih lebih luas. Melihat calon rumah baru dinas kami sekilas mengingatkanku pada gambar rumah yang selalu jadi referensi anak-anak TK atau SD. Satu pintu di tengah, dua jendela persegi empat kanan dan kiri. Sungguh perjalanan hidup yang singkat menyisakan ribuan pertanyaan dalam otakku. Dari A ke Z, atau sebaliknya.

Pertama kali menjejakkan kaki di rumah mungil ini, seperti masuk ke dalam suasana pada film-film dokumenter. Atmosfer ruangan sangat kental dengan perjuangan dan pelaku perjuangan. Tampak ‘menyeramkan’.

Dalam hati aku meminta, “Ya Allah! Teguhkan hati kami dalam keistiqamahan berjuang di jalan dakwah!”

Alhamdulillah! Setelah beberapa waktu, rumah kami telah disulap 180 derajat oleh suami dan teman-temannya menjadi lebih layak huni. Di sinilah tempat kami menjalani bulan madu sebagai suami-istri yang baru menikah.

Aku teringat sebuah hadits ‘baytii jannatii’, di mana sebuah rumah dikatakan surga jika penghuninya senantiasa menghidupkan hati dengan dzikir dan ibadah kepada Allah.

Suatu sore, aku dan suami bersepeda motor hendak membeli makan malam. Melewati jalan berbeda dari biasanya.

Sepanjang tepi jalan raya, tampak berjejer rumah- rumah yang dominan tersusun dari papan bekas persegi Panjang, beratap seng bekas berwarna cokelat -tanda sudah berkarat. Aku penasaran.

“Ini bangunan apa? Kok banyak tapi gak rapi?” tanyaku.

“Itu namanya ruli; rumah liar,” jawab suami.

Mulai dari tanah sampai rumah yang mereka bangun itu ilegal, seru suami.

“Berarti rumah kita juga termasuk ruli ya?” tanyaku. “Iya!”

Allahu Akbar!

Demikian penggalan cerita kami sebagai pengantin baru. Kini, ruli kami sudah tinggal cerita.

Hakikat Kebahagiaan

Beberapa tahun lalu saat perluasan kompleks, rumah liar itu sampai pada takdirnya. Dirobohkan. Rata dengan tanah. Mungkin sekarang sudah tak ada lagi tanda dan bekasnya. Bak hilang ditelan zaman dan waktu.

“Kita tidak akan merasakan sesuatu itu berharga dan berkesan sebelum ia berpisah dari kita.”

Kisah kami menempati ruli yang kecil nan mungil itu diukir di atas kertas, mungkin tak kalah dengan novel serial “BUMI”-nya Tere Liye.

Walaupun banyak kekurangan dan keluh kesah di dalamnya, kisah membangun bahtera dan berlaga dalam karir perjuangan, bermula dari ruli.

Teringat pesan Rasulullah dalam haditsnya: “Faman kanat hijrotuhu ilallaahi wa rosuulih, fahijrotuhu ilallaahi wa rosuulih. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka itu karena Allah dan rasulnya.”

Tidak semua tempat berjuang yang kita anggap bagus itu baik. Ada yang income-nya dua digit, tapi yang dirasakan adalah kekhawatiran demi kekhawatiran, tak merasakan ketenangan.

Ada yang puluhan juta tapi pemimpin dan lingkungan kerjanya toxic. Naudzubillahi min dzalik.

Di sisi lain, banyak dai di pedalaman yang tak kenal imbalan apalagi gaji, tapi tetap berjuang dengan kobaran semangat dan sukacita.

Hati dan langkah kakinya senantiasa dibimbing oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Menyentuh kepapaan masyarakat terpencil. Tak dilemahkan oleh cuaca ekstrem.

Karena mereka tahu bahwa hakikat bahagia bukan sekadar sandang, pangan, dan papan. Hakikat bahagia adalah saat langkahmu dibimbing oleh Allah dan dilapangkannya hati dari sesuatu di luar kesanggupanmu.

Selamat berjuang, selamat bersyukur, dan teruslah bersabar!* (Rifqiyati Hudayani/MCU)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *