Asal Usul ‘Pernikahan Massal’ Jadi ‘Pernikahan Mubarak’ di Hidayatullah

[Ilustrasi] Pernikahan Mubarak di Ponpes Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan.* [Foto: SKR/MCU]

Oleh: Abdul Ghofar Hadi

Ummulqurahidayatullah.id | PELAKSANAAN pernikahan massal untuk para santri Hidayatullah tetap berlangsung hingga sekarang. Artinya dalam berbagai hal, Pesantren Hidayatullah Balikpapan tidak bergantung kepada sosok pendiri atau karisma pemimpinnya.

Meskipun KH Abdullah Said (Pendiri Hidayatullah) sudah wafat, tapi program-program strategis tetap berjalan dan dikembangkan. Pernikahan massal tetap terlaksana dan diganti namanya menjadi pernikahan mubarak.

Ada beberapa alasan, di antaranya istilah pernikahan massal banyak dipakai lembaga lain dengan kesan kurang bagus. Yaitu pernikahan dari para pasangan-pasangan tidak resmi atau pasangan kumpul kebo yang berkumpul seperti pasangan suami-istri namun tanpa ada ikatan pernikahan selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Alasan pernikahan massal memberikan fasilitas kepada mereka yang tidak memiliki identitas persyaratan administrasi pernikahan, tidak direstui orangtuanya, atau tidak memiliki biaya untuk melaksanakan pernikahan.

Pernikahan massal hanya formalitas untuk melegalkan hubungan mereka. Saat pernikahan massal, pesertanya adalah orang-orangtua yang sudah beranak bahkan sebagian sudah memiliki cucu. Tidak ada pembinaan sebelum dan sesudah dari pernikahan massal tersebut.

Pernikahan massal seperti di atas menjadi tren karena mendapatkan dukungan dari pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kegiatan sosial untuk membantu mereka yang tidak mampu. Di berbagai daerah secara bergantian melaksanakan pernikahan massal dalam jumlah peserta hingga ratusan pasang. Didukung dengan publikasi dan pemberitaan yang masif, kegiatan pernikahan massal menjadi viral dan diminati masyarakat.

Sementara konsep pernikahan massal di Pesantren Hidayatullah khususnya di Kota Balikpapan memiliki akar sejarah dan latar belakang yang berbeda dengan pernikahan massal pada umumnya. Persamaannya hanya pada jumlah peserta pernikahan yang –biasanya– banyak dan dilaksanakan secara bersama-sama.

Pengurus Pesantren Hidayatullah dalam menyikapi fenomena maraknya pernikahan massal yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau LSM, bersepakat untuk mengubah istilah pernikahan massal menjadi pernikahan mubarak. Tujuan praktisnya agar tidak ambigu dengan pernikahan massal pada umumnya dan istilah pernikahan mubarak lebih sakral serta orisinil.

Kata mubarak mengambil spirit dari doa yang diajarkan oleh Rasulullah untuk pengantin yang baru melangsungkan akad nikah. Yaitu Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair. Artinya: “Semoga Allah memberkatimu, dan selalu melimpahkan berkah atasmu. Semoga Allah menyatukan kalian dalam kebaikan.”

Pernikahan mubarak di Pesantren Hidayatullah dengan peserta santri putra dan putri yang telah dewasa dan dilakukan beberapa pasang dalam waktu yang bersamaan. Mereka dinikahkan dengan proses penjodohan oleh para ustadz, tanpa pacaran bahkan belum mengenal sebelumnya calon suami-istri.

Sikap sami’na wa atho’na menjadikan mereka menerima jodoh atau calon pasangan berdasarkan pilihan ustadznya. Meski terkadang ada beberapa santri peserta pernikahan yang menolak atau merasa tidak cocok dengan pasangan yang dipilihkan untuk dirinya.

Tujuan Pernikahan Mubarak

Pesantren Hidayatullah Balikpapan melaksanakan pernikahan mubarak setiap tahun atau dua tahun sekali tentu ada tujuan strategis yang hendak dicapainya.

Menurut Ustadz Zainuddin Musaddad sebagai ustadz yang pernah jadi peserta dan panitia pernikahan mubarak menjelaskan, tujuan pernikahan mubarak di Pesantren Hidayatullah Balikpapan bisa disimpulkan berikut ini:

“Perlawanan atau serangan balik terhadap serbuan budaya Barat yang cenderung liberal dan mengajarkan pergaulan bebas, unmarried, single parent, pacaran, dan LGBT, pesta upacara pernikahan yang cenderung mewah dan foya-foya.

Mengembalikan peradaban Islam pada proporsinya dalam hubungannya dengan perkawinan. Program untuk mengupayakan pernikahan massal dengan cara yang sederhana tapi tetap meriah dan acaranya berjalan tertib dan tidak terseret ke dalam pelanggaran syari’ah.

Memfasilitasi para santri yang sudah cukup usia untuk bisa menyempurnakan agamanya yaitu menikah. Sebab santri putri biasanya besar rasa malunya untuk menyampaikan keinginannya menikah dan kemampuan ekonominya sebagai santri putra tidak memungkinkan untuk melaksanakan pernikahan sendiri.

Membentengi santri dari tradisi pernikahan yang kurang islami. Dari mulai klenik-klenik penentuan hari, kriteria suami-istri berdasarkan tradisi tertentu, serta syarat pernikahan yang berat di masyarakat yang menyebabkan banyak perawan tua dan bujang lapuk.

Menjaga santri agar istiqamah dalam menjaga agamanya dengan dinikahkan sesama santri yang memiliki satu pemahaman dan cita-cita. Besar kemungkinan buah dari hasil pernikahan mubarak dan santri akan menjadi santri yang shaleh-shalehah juga. Demikian pula ketika penjahat menikah dengan penjahat maka besar kemungkinan anaknya juga menjadi anak kurang baik.”*

  • Penulis adalah Wasekjen 1 DPP Hidayatullah

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *