Kepak Peradaban Hidayatullah di 50 Tahun Kedua [Juara 3 Lomba Menulis]

Kampus Induk Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kaltim. [Foto: Muh. Abdus Syakur/MCU]

Oleh: Syaiful Anshor*

PESAN WhatsApp masuk di group Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) Kaltim beberapa hari yang  lalu. Pesan itu dari alumni senior kampus Islam yang terletak di bilangan Kejawan Putih Tambak, Surabaya, Ustadz Abdul Ghaffar Hadi.

Ustadz Ghaffar—sapaan akrabnya—kini menjabat Wakil Sekretaris Jenderal 1 DPP Hidayatullah. Sehari-hari beliau dinas di kantor DPP Hidayatullah, Jakarta. Dalam pesan cukup panjang itu, Ustadz Ghaffar mengingatkan para anggota group bahwa tidak lama lagi organisasi yang didirikan oleh Allahuyarham KH. Abdullah Sa’id akan berulang tahun yang ke-50. 

Seusai Pedoman Dasar Organisasi (PDO) Hidayatullah, Pasal 1 Ayat 2, organisasi ini didirikan oleh Ustadz Abdullah Sa’id pada 1 Muharam 1393 H. Dengan begitu, pada 10 Agustus 2021 ini, Hidayatullah genap berusia 50 tahun. Usianya masuk setengah abad. Usia emas. Itu menandakan perjalanannya sudah panjang, berliku, dan mengalami banyak perubahan.

Saya tiba-tiba teringat peristiwa sekitar dua dekade silam. Saat mondok di Pesantren Hidayatullah cabang Sumatera Selatan. Tepatnya di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyu Asin. Pondok ini dirintis oleh Ustadz Amin Mahmud—sekarang Imam Masjid Ar-Riyadh, Hidayatullah Gunung Tembak—yang ditugaskan merintis pesantren di sana. 

Pondok ini punya lahan seluas 20 hektare. Hanya saja, masih banyak berupa semak belukar dan pepohonan. Karena masih perintisan, proses pembelajaran masih ala kadarnya. Bahkan kadang belajar kadang tidak. Gurunya bisa dihitung jari. Tak ada yang sarjana.

Praktis, para santri lebih banyak bekerja. Bidang kerjanya berbeda-beda: ada divisi pertamanan, dapur, mencari kayu bakar, perkebunan, hingga memelihara puluhan ekor sapi. Nah, tugas memelihara sapi ini cukup berat. Menggembalakan sapi keluar masuk hutan, mencarikan rumput, hingga membersihkan kandang yang luas. 

Waktu kerja usai zuhur hingga ashar. Dilanjut usai shalat ashar hingga jelang maghrib. Santri akan berhenti saat mendengar pengumuman dari Toa masjid, “Waktu shalat kurang 30 menit.” Khusus untuk hari Sabtu dan Ahad, biasanya kerja bakti. Meski lebih banyak kerjanya, namun para santri betah.

Sebab, saat itu, para Ustadz menasihati bahwa kerja di lapangan adalah proses kaderisasi yang dampaknya kelak sangat luar biasa.

“Belajar itu tidak hanya di kelas. Bersenjatakan pensil, kertas, dan buku. Belajar yang tak kalah penting juga di lapangan. Bersenjatakan cangkul, arit, dan parang. Terjun langsung. Mengikis tagha atau kesombongan.”

Nasihat itulah yang sering para santri dengar dari para Ustadz—khususnya dari Ustadz Amin Mahmud di setiap ceramahnya yang menggebu-gebu dan menyentuh di setiap kesempatan.  

Fenoma proses nyantri seperti itu—lebih banyak belajar di lapangan ketimbang di kelas—tidak hanya terjadi di pesantren Hidayatullah cabang Palembang ini saja. Hal senada juga terjadi di banyak cabang perintisan di pesantren Hidayatullah hampir di seluruh daerah.

Fase itu terjadi karena waktu itu, Hidayatullah baru mengepakkan sayap dakwah dan peradaban ke seluruh penjuru nusantara. Berbekal seadanya. Hanya beberapa eksemplar majalah Suara Hidayatullah. Merintis pesantren dari nol. Dari tidak punya apa-apa. Lahan yang didirikan pesantren berasal dari wakaf muhsinin atau dermawan.

Baca: Napak Tilas Setengah Abad Hidayatullah: Wujud Transformasi dan Rejuvenasi [Juara 2 Lomba Menulis]

Capaian

Seiring waktu yang terus berjalan, Hidayatullah semakin maju dan berkembang. Cabangnya sekitar 600 pesantren. Tersebar di penjuru nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat sudah mulai mengenal dan merasakan berbagai kiprahnya: dari ekonomi, dakwah, dan sosial.

Dari sekitar 600 cabang pesantren, Hidayatullah punya cabang pesantren yang besar, modern, punya banyak santri dan gedung yang mentereng. Biasanya, pesantren dengan tipe ini terdapat di kampus-kampus Utama Hidayatullah. Seperti Surabaya, Depok, Batam, dan sebagainya.

Tidak hanya punya banyak cabang, Hidayatullah juga punya banyak amal usaha. Seperti Swalayan Sakinah, penerbitan, percetakan, Hidayatullah Media Group—salah satunya Majalah Suara Hidayatullah, Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Search and Rescue (SAR) Hidayatullah, Islamic Medical Service (IMS), BMT Amanah, dan masih banyak lagi.

Sebagai organisasi yang juga bergerak di bidang pendidikan, Hidayatullah tidak saja memiliki lembaga pendidikan mulai PAUD, TK, SD hingga SMA/MA di berbagai cabangnya, tapi juga memiliki sejumlah perguruan tinggi. Tujuan perguruan tinggi ini salah satunya untuk mencetak kader dan menugaskannya ke berbagai daerah.

Perguruan Tinggi itu seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) Surabaya, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) Depok, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Horizon Harapan: Antara Akurasi dan Presisi [Juara 1 Lomba Menulis]

Tantangan

Hidayatullah kini genap berusia 50 tahun. Di usia emas ini, organisasi Islam ini sudah mengukir sejarah gemilang di banyak bidang seperti dalam tulisan di atas. Meski begitu, Hidayatullah tidak boleh berpuas diri dengan capaian yang telah diraih. Organisasi Islam ini harus terus mengepakkan sayap peradabannya.

Di balik sederet capaian, pasti ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Dengan menyempurnakan kekurangan, ke depan Hidayatullah bisa semakin maju. Salah satu yang perlu diperhatikan ormas ini adalah zaman yang terus berkembang. Kondisi tahun 70-an tentu tidak sama dengan zaman sekarang.

Zaman telah banyak berubah. Perubahan itu tidak lain akibat perkembangan teknologi yang cepat. Sekarang hidup di zaman digital: era 4.0. Semuanya serba digital. Kondisi ini mengakibatkan disrupsi di berbagai bidang. Tak terkecuali bidang dakwah dan tarbiyah.

Mau tidak mau, pola atau strategi pendekatan dan pengembangan Hidayatullah ke depan juga harus berubah. Tidak seperti zaman konvensional dulu. Ya, mungkin tidak semuanya. Sebagian saja. Yang kira-kira acceptable untuk mengakselarasi visi-misi organisasi.

Dalam skala global—paling tidak nasional—Hidayatullah harus mampu memberikan jawaban, alternatif, dan solusi atas berbagai masalah krusial yang sedang dihadapi umat. Seperti halnya dakwah. Hidayatullah dapat menyuguhkan konten dakwah yang menarik yang bisa dinikmati oleh para pengguna internet.

Bukan hanya dakwah, tapi juga hal penting lainnya—tarbiyah, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya—harus memanfaatkan teknologi agar dapat mengakselarasi kepak sayap peradaban yang diusung Hidayatullah. Hanya saja, merealisasikan itu memang tentu tidak mudah.

Dibutuhkan para kader yang memiliki kompetensi mumpuni sekaligus melek teknologi. Namun, jika hal itu tidak dilakukan, maka organisasi ini bisa tertinggal. Apalagi, di saat yang sama, organisasi dan institusi lain sedang gencar dan marak menggunakan teknologi untuk mencapai tujuan mereka.

Pekerjaan rumah tak kalah penting Hidayatullah adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas human resources (SDM). Untuk mengepakkan sayap peradaban Islam dibutuhkan kader-kader militan, berkualitas, dan berintegritas. Kader berkualitas yang kuat ruhaninya, beradab, hebat intelektualnya, dan mau berjuang.  

Dengan itu semua, InsyaAllah, kepak sayap peradaban organisasi  masa Islam Hidayatullah akan lebih terasa hingga ke seluruh penjuru lapisan: dari Sabang hingga Merauke bahkan ke level dunia internasional.*

*Penulis tinggal di Kota Balikpapan, Kaltim. Karya ini meraih Juara 3 Lomba Menulis Essay Nasional yang digelar Pemuda Hidayatullah Balikpapan dalam rangka Milad ke-50 Hidayatullah, Muharram 1443H

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *