Hakikat Pergantian Tahun 2024-2025 Masehi

Oleh: Masykur Suyuthi*
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Qur’an Surat Al-Furqan [25]: 62)
Ummulqurahidayatullah.id | DETIK-detik pergantian tahun sebenarnya sama dengan hari-hari yang lain. Ia datang dan pergi jika telah tiba masanya. Tak ada yang bisa menahannya sedetikpun. Apalagi memutar ulang waktu yang sama agar kembali. Ia tetap kan bergulir sejalan dengan masa yang terus bergilir.
Bagi sebagian orang, tahun 2025 Masehi mungkin terbilang spesial dan istimewa. Satu era yang disebut-sebut sebagai titik tolak kebangkitan sekaligus tolok ukur strategis dalam perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Setidaknya demikian harapan manusia. Ada banyak obsesi yang tersemat padanya. Baik yang diproklamasikan secara langsung atau diekspresikan dalam bentuk lain. Alasannya pun bisa bermacam-macam. Entah sebab keunikan angkanya, atau alasan lain.
Jelasnya tahun yang dulu ditunggu kini akan segera pergi. Dan kurun yang dulu dianggap jauh ternyata sudah berada di depan mata sekarang.
Tentu, ada banyak cita-cita yang tercapai sepanjang ratusan hari yang terlewati. Namun, tak sedikit yang belum tergapai pula. Ada yang sudah direncanakan namun tidak terealisasi. Ada pula yang bahkan belum terpikirkan. Ada juga yang karena terlalaikan oleh faktor lainnya.
Jelasnya, semua sama seperti dahulu. Masih serupa bayang-bayang mimpi. Asyik di alam pernyataan dan idealita. Belum jua terwujud di alam kenyataan atau realita. Semangat yang berapi-api ketika orasi namun luntur dan kendor ketika turun beraksi.
Imam az-Zarnuji Rahimahullah, pemilik nama Burhanuddin yang juga dikenal dengan nama Burhanul Islam ini pernah menjelaskan fenomena tersebut.
Tentang orang-orang yang tak kunjung meraih kesuksesan dalam hidupnya. Manusia demikian bukan tidak punya harapan hidup. Namun terkadang orang itu sendiri yang khawatir atau minder dengan cita-citanya.
Tekad dan Sabar
Az-Zarnuji yang populer dengan nasihatnya tentang adab bagi penuntut ilmu, mengurai itu dalam karyanya kitab “Taklim Muta’allim”.
Menurutnya, kunci sukses dalam hidup manusia ada dua. Yakni, tekad dan sabar. Dua sikap ini mutlak dipunyai oleh siapapun dalam urusan apapun. Terlebih bagi seorang penuntut ilmu atau pegiat dakwah.
Kenapa mesti punya tekad dan sabar?
Karena disadari selalu ada tantangan dan ujian pada proses yang dijalani. Siapapun, tidak mudah keluar dari zona nyaman. Apalagi kalau lagi asyik menikmati mimpinya yang indah. Terasa bangun itu jadi berat. Bergeser sedikit saja enggan. Tak mudah memang. Butuh tekad kuat. Apalagi untuk bisa bangkit dan beranjak dari lingkaran yang sudah terasa nyaman.
Ash-shabru sa’atin, terangnya singkat. Punya cita-cita dan tekad saja tidak cukup. Dibutuhkan kesabaran setiap saat. Bersabarlah sejenak. Terutama saat-saat menapaki anak tangga demi anak tangga.
Bersabarlah, sebab itulah yang menjadikan diri kuat memikul amanah dan tanggung jawab. Butuh latihan demi latihan. Proses lalu proses. Belajar dan terus belajar. Berlatih dan tetap berlatih. Mengulang dan kembali mengulang. Sesekali kadang harus jatuh. Tapi yang pasti, dia harus bangkit kembali.
Az-Zarnuji menyebut bahwa tekad yang besar, cita-cita tinggi, dan semangat yang full power nyaris tak berarti apa-apa tanpa ditopang dengan kesabaran. Wa’lam anna ash-shabra wa ats-tsabat ashlun kabirun fi jami’i al-umur. Demikian panjang lebar dalam kitab tersebut.
Dan ketahuilah, jelasnya, bahwa kesabaran dan komitmen adalah hal pokok lagi mutlak yang harus ada dalam setiap urusan manusia.

Obsesi Tinggi
Lebih jauh, az-Zarnuji mengingatkan, kesuksesan paripurna itu rupanya tidak berhubungan dengan kemegahan sarana prasarana dan fasilitas canggih super lengkap. Itu tidak termasuk syarat meraih sukses. Ia bersifat pendukung. Tapi bukan itu jaminan dan garansinya.
Sebagian orang malah ada yang menganggap kenyamanan itu bisa menciderai kesungguhan dan tekad yang kuat.
Menariknya, tokoh-tokoh dan para ulama sudah memberi teladan dalam merawat cita-cita atau tekad tersebut. Dengan obsesi tinggi yang dimiliki, nyaris mereka seperti sudah abai dengan keadaan yang dijalaninya atau status sosial yang sebelumnya melekat. Kini hidupnya fokus dengan apa yang dicita-citakan dan terus digelorakan. Itulah sesungguhnya warisan mahal para ulama pejuang dahulu.
Lihat saja, apa jadinya Imam Syafii Rahimahullah kalau gara-gara statusnya sebagai anak yatim dan sebutan keluarga miskin telah melemahkan cita-citanya sejak kecil? Maka tidak ada Imam Syafii yang dikenal cerdas lagi pandai menghafal. Mungkin kita juga tidak pernah mengenal kitab fiqh al-Umm atau ar-Risalah dan mazhab Syafii seperti sekarang.
Apa jadinya Imam Nawawi Rahimahullah, andai selalu terpasung dengan statusnya yang “belum menikah”? Mungkin tekad besar itu seketika layu bahkan rontok tanpa sisa. Jika itu terjadi, maka tamatlah cita-cita besar ulama bernama Muhyiddin Abu Zakariya tersebut. Tidak ada lagi kitab-kitab spektakuler seperti yang dinikmati hari ini. Mulai dari Arba’in an-Nawawiyah, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, Raudhatut Thalibin, dan sebagainya. Bahkan dikatakan karya-karyanya yang monumental itu telah melampaui jumlah usianya yang hanya berumur 45 tahun itu.
Apa jadinya jika pejuang kemerdekaan dahulu terlanjur ciut dengan bekal dan senjata pas-pasan hanya berupa bambu runcing? Maka mungkin saja, negeri tercinta kita Indonesia belum merasakan lapangnya kemerdekaan itu dan nikmatnya menjadi orang-orang yang merdeka. Sebab sejak awal, bangsa Indonesia telah terjajah dengan pemikiran dan terjebak dengan lingkaran asumsi yang inferior.
Pun demikian KH Abdullah Said Rahimahullah, Pendiri Hidayatullah. Bersama para santri sekaligus sahabat-sahabat karibnya dahulu, mereka hidup di tengah hutan belantara. Fasilitas yang begitu sederhana. Hanya ada gubuk bekas tempat pembakaran batu bata. Selebihnya nyaris hanya berupa batang ulin raksasa dan tanah rawa-rawa. Tapi cita-cita saat itu sudah merambah dunia Islam. Mereka disibukkan dengan berpikir bagaimana menjayakan dakwah di tengah umat.
Andai saja mereka terjebak sekadar meratapi keterbatasan dan penderitaan? Pondok pesantren itu tentu tak mampu melebarkan sayap dakwahnya hingga sekarang. Pelayanan pendidikan tak akan maju dan sedinamis saat ini. Lebih dari itu, pelayanan sosial dan gerakan ekonomi juga atas pertolongan Allah, kian terasa manfaatnya di tengah masyarakat.
Jangan Mimpi tanpa Aksi
Kembali ke pergantian tahun 2024-2025 Masehi. Ketahuilah, hakikatnya sama dengan pergantian tahun-tahun sebelumnya. Apapun yang direncanakan tak akan bisa mewujud jika cuma mimpi tanpa aksi. Jika semua sebatas di alam idealita tanpa berpindah ke realitas di lapangan. Ia tak akan berubah jika manusia itu sendiri tidak berusaha mengubahnya.
Bahwa nikmatnya hidup hanya bisa dirasa ketika diperjuangkan. Lezatnya dakwah itu ketika tulus diajarkan dan disyiarkan tanpa pamrih. Gurihnya ilmu didapat dengan menjaga adab-adabnya dan menjadi teladan yang berjalan.
Pemuda Islam apalagi seorang kader dakwah harus punya karakter hijrah dan anshar. Sebagai Muhajirin tidak pernah berhenti bergerak tanpa mengenal waktu. Sebagai Anshar dia selalu siap menolong dan berkorban tanpa tapi tanpa nanti. Demikian nasihat pungkas Pemimpin Umum Hidayatullah Hafizhahullah, KH Abdurrahman Muhammad, beberapa waktu lalu.
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qur’an Surat Ar-Ra’du [13]: 11).*
- Penulis adalah Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Hidayatullah Balikpapan
Subhanawllah.saya jg baru dtggl istri tercinta tgl 6 juni 2023 kmrn rindu ini teramat sangat berat dan sesak didada namun…
MasyaAllah Semoga bayi yang dititipkantersebut akan menjadi penerus pimpinan di kampus tersebut
yaa robb....kangen kamu...
Mantap Bang Sakkuru
Sama yg saya rasakan betapa rindunya saya dengan almarhumah istriku. 6 bulan berlalu kepergianya