Pelarangan Jilbab = Tidak Pancasilais

ILUSTRASI: Mushida menggelar kegiatan berbagi jilbab gratis di Lamaru, Kota Balikpapan, pada hari peringatan Solidaritas Hijab Internasional, Senin (4/9/2023).* [Foto: Mushida/Mujtahidah/Hidayatullah.com]

Ummulqurahdayatullah.id | INDONESIA, sebuah negeri yang kaya akan sejarah dan budaya, kini dihadapkan pada situasi yang memicu banyak pertanyaan dan kekhawatiran. Tepat menjelang hari ulang tahun ke-79 kemerdekaan Republik Indonesia, mencuat sebuah kontroversi yang mengganggu ketenangan masyarakat, terutama umat Islam.

Pasca reformasi yang diharapkan membawa angin segar kebebasan dan demokrasi, kini terasa semakin jauh ketika kebebasan berhijab bagi Muslimah yang tergabung dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 dipersoalkan.

Reformasi yang terjadi 25 tahun silam diharapkan menjadi awal dari terbukanya pintu kebebasan bagi setiap warga negara, termasuk dalam menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Namun, harapan itu tampaknya mulai luntur, terutama ketika mencuatnya kebijakan terkait Paskibraka 2024.

Adalah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang diduga membuat kebijakan Muslimah Paskibraka harus melepaskan hijabnya saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran bendera Merah Putih dalam rangka HUT ke-79 Republik Indonesia di IKN.

Padahal, sagi seorang Muslimah, hijab bukan hanya penutup kepala. Hijab adalah simbol identitas, keyakinan, dan ketaatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika kewajiban menutup aurat menjadi sebuah perdebatan dalam pelaksanaan tugas kenegaraan, pertanyaan yang muncul adalah, apakah identitas keagamaan masih memiliki tempat dalam ruang publik yang diatur oleh negara?

Bagaimana kita, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Pancasila, memaknai kebebasan beragama dalam konteks kebijakan seperti ini?

Larang Hijab = Tidak Pancasilais

Salah satu yang sangat menyayangkan kebijakan BPIP itu adalah Muzakkir Usman, senior Pemuda Hidayatullah dan putra asli Kalimantan Timur.

Menurut Muzakkir, kebijakan ini bukan hanya sekedar persoalan teknis pelaksanaan tugas, tetapi sudah menyentuh pada pengabaian terhadap sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Sila Pertama Pancasila ini mengandung makna mendalam tentang kewajiban menegakkan perintah Tuhan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan tugas kenegaraan.

Muzakkir berpendapat bahwa kebijakan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila, khususnya yang berkaitan dengan keimanan dan ketakwaan, mulai diabaikan.

“Pengabaian terhadap nilai – nilai Pancasila, khususnya sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa yang mengandung kewajiban menegakkan perintah Allah dalam segala aspek kehidupan, telah dirampas oleh oknum yang tidak berjiwa Pancasilais,” tegasnya dengan nada geram.

Ironisnya, pengukuhan anggota Paskibraka 2024 ini diadakan di Ibu Kota Nusantara (IKN), yang digadang-gadang sebagai simbol keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

IKN, yang seharusnya menjadi cerminan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru menjadi panggung bagi kebijakan yang dianggap sebagian kalangan sebagai tindakan diskriminatif terhadap Muslimah yang ingin menjalankan kewajiban agamanya.

BPIP berdalih bahwa pelepasan hijab bagi muslimah Paskibraka bukanlah keputusan yang dipaksakan, melainkan atas dasar sukarela dengan menandatangani perjanjian sebelumnya.

Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah, sejauh mana kesukarelaan ini benar-benar dapat dianggap sebagai pilihan bebas? Dalam kondisi di mana seorang Muslimah merasa terpaksa melepaskan hijab demi tugas negara, apakah ini masih dapat disebut sebagai keputusan yang murni sukarela?

Kehilangan Berkah Kemerdekaan

Muzakkir, yang tumbuh dan besar di Kalimantan Timur, merasa terganggu dengan kebijakan ini. Menurutnya, pelaksanaan upacara pengibaran bendera yang akan dilakukan oleh anggota Paskibraka yang harus melepaskan hijab mereka, dikhawatirkan akan kehilangan berkah dan rahmat dari Tuhan.

“Kita khawatir, pengibaran bendera nanti jauh dari berkah dan rahmat Allah, karena dikibarkan oleh orang – orang yang terbelenggu dalam melakukan ajaran agama mereka, khususnya muslimah yang wajib menutup auratnya dengan hijab,” lanjutnya dengan nada prihatin.

Kebijakan yang mengekang kebebasan beragama ini tentu memicu kekecewaan di kalangan umat Islam. Umat Islam melihat ini sebagai langkah mundur dari nilai-nilai reformasi yang selama ini diperjuangkan.

Namun, di balik kekecewaan itu, tetap ada harapan bahwa pemerintah dan penanggung jawab Paskibraka 2024 dapat mengkoreksi dan menganulir kebijakan tersebut.

Dalam konteks ini, kita perlu merenungkan kembali makna Pancasila, terutama sila pertama yang menggarisbawahi Ketuhanan yang Maha Esa.

Apakah kebebasan beragama masih menjadi hak yang dihormati di negeri yang menjunjung tinggi Pancasila? Bagaimana kita sebagai bangsa memaknai kebebasan ini di tengah dinamika kebijakan yang kian hari semakin kompleks?

Kita semua memahami bahwa kebebasan berhijab adalah bagian dari kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus memperjuangkan hak-hak ini, terutama bagi Muslimah yang ingin menjalankan ajaran agamanya tanpa hambatan.

Pentingnya Dialog

Untuk mengatasi persoalan ini, dialog yang konstruktif antara semua pihak terkait khususnya ulama dan tokoh agama sangatlah penting, sesuatu yang selama ini tampaknya amat jarang dilakukan oleh BPIP.

Kita perlu mendengarkan aspirasi dan keprihatinan dari semua pihak, termasuk dari anggota Paskibraka, tokoh agama, dan masyarakat luas. Hanya dengan dialog terbuka kita bisa menemukan solusi yang tidak hanya adil, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya dan agama. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kebinekaan, penting bagi kita untuk selalu menjaga nilai-nilai tersebut.

Kebijakan yang mengekang kebebasan menjalankan ibadah menurut agama seperti kebijakan pelepasan hijab ini, hanya akan merusak tatanan kebinekaan yang sudah kita bangun dengan susah payah.

Di tengah segala kontroversi ini, satu hal yang pasti adalah bahwa kebebasan beragama harus tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita harus merajut kembali kebebasan yang mulai terkikis, dan memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk Muslimah yang berhijab, dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut atau tekanan.*

* Darwiwing, Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah DKI Jakarta

(Tulisan ini telah dimuat di website Hidayatullah.or.id dengan judul “25 Tahun Pasca Reformasi, Kebebasan Berhijab Muslimah dalam Paskibraka Terkikis di Bumi Pancasila”. Dimuat kembali Ummulqurahidayatullah.id dengan beberapa penyesuaian redaksi.)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *