Daripada Menanggung Pahitnya Kebodohan
Oleh: Mustabsyirah
AKU adalah seorang mahasiswi jurusan pendidikan matematika di sebuah kampus negeri terbesar di Kalimantan Timur.
Bagiku, masa akhir perkuliahan adalah hari-hari yang penuh warna. Terutama saat penyusunan skripsi hingga ujian meja nantinya.
Waktu itu aku baru saja mendapat persetujuan untuk mengikuti ujian seminar proposal skripsi. Oleh pihak Program Studi (Prodi), dipersyaratkan mendapat lima orang mahasiswa tingkat akhir (senior) sebagai pihak yang membahas proposal yang kuajukan.
Sepintas, hal itu tampak mudah bagiku. Tinggal menghubungi nama-nama mahasiswa yang diberikan oleh Prodi sebagai calon pembahas. Tapi ibarat kehendak hati memeluk gunung, ternyata tak seorangpun yang menyanggupi permohonanku itu.
Sadar, semangatku perlahan memudar. Api gairah yang tadinya menggelora kini surut berganti badai kecemasan. Aku sendiri tak lagi ingat apa alasan mereka. Jelasnya, lima orang itu tak bisa memenuhi impianku.
Beruntung, pihak Prodi seolah mengerti keadaanku. Akhirnya ia memberi kelonggaran mencari siapa saja mahasiswa yang memenuhi kriteria sebagai pembahas di ujian proposalku nanti.
Perburuanpun kini dimulai (lagi). Dari sebuah arsip administrasi, setidaknya aku berhasil mengumpulkan 20 nama mahasiswa sekaligus. Beberapa nama di antaranya memiliki dosen pembimbing yang sama denganku.
Tapi sepertinya aku masih juga bertepuk sebelah tangan. Satu per satu mahasiswa yang kuhubungi menyatakan maaf tidak bisa menjadi pembahas dalam agenda ujian seminar proposalku.
Uniknya, beberapa di antara mereka beralasan sama. Takut berhadapan dengan seorang dosen pembimbingku yang dikenal rada “killer” bagi sebagian mahasiswa.
Kecemasan perlahan merambat dekat. Sebab hari-H jadwal seminarku makin merapat. Tinggal hitung hari lagi, sedang beberapa hal administrasi tak kunjung beres saat itu, termasuk menetapkan para mahasiswa pembahas dalam ujian proposal.
Benturan hebat di atas akhirnya membuatku tersadar. Tak semua yang direncanakan manusia bisa langsung terlaksana tanpa seizin Allah. Aku tadinya bahkan begitu pede dengan penelitian yang kubuat dan kemampuan diriku selama ini.
Kini, aku merasa tak lagi memiliki apa-apa selain mengadu kepada Allah, Zat Yang Menggenggam segala urusan. Dengan segala perasaan bersalah, aku bersungkur sujud memohon ampun kepada Allah.
Aku hanya bisa berdoa semoga setiap urusanku dipermudah oleh Allah. Tak henti aku juga berkirim SMS dan menelepon kepada orangtua dan saudara yang lain, meminta didoakan oleh mereka.
Satu keyakinan yang terus terpatri, bahwa pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba-Nya yang berusaha dan berdoa. Bukankah Allah sudah berbagi kabar, bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Subhanallah, hanya berselang beberapa waktu, kemudahan dan pertolongan Allah mulai datang. Tiba-tiba ada dua kakak senior yang bersedia ambil bagian menjadi pembahasku. “Berarti sisa tiga orang lagi,” gumamku diam.
Ibarat bola salju, kabar tentang jadwal seminar proposal yang kian mepet dan masalah yang kuhadapi terus beredar menggelinding di lingkungan kampus, khususnya di jurusan Pendidikan Matematika.
Usai mendapatkan seorang lagi, aku benar-benar nyaris kehabisan akal kembali. Ibarat mencari jarum yang terjatuh di atas jerami, ternyata tak mudah mencari di antara ratusan mahasiswa di jurusanku. Tiga orang itupun semuanya di luar rencana dan aku sendiri seolah tak punya rencana apa-apa lagi selain berserah diri dan berdoa kepada Allah.
Hingga suatu pagi, usai shalat dhuha, HP-ku berbunyi, menandakan ada pesan singkat yang masuk.
“Dek, saya dengar mau seminar proposal ya? Pembahasmu sudah selesai ya? Saya siap jadi pembahas, sekalian mau konsultasi skripsi dengan bapak dosen juga nanti,” demikian isi pesan tersebut.
Dengan senang hati, SMS itu segera kubalas. “Iya kak. Saya maju seminar proposal pekan depan insya Allah. Pembahas saya kurang 2 orang lagi. Terima kasih banyak kak atas kesediaannya menjadi pembahas. Tolong kirim nama lengkap dan NIM.”
Sejurus dua pesan beruntun dari nomor yang sama masuk kembali ke hape-ku. Kali ini berisi nama dan NIM yang dipunyai. Namun isi yang kedua berhasil membuatku melonjak. Tak sadar aku berpekik takbir usai membaca isinya.
“Jadi pembahasmu kurang 1 ya dek. Coba hubungi nomor ini. Dia seangkatan dengan saya. Dia juga bimbingan bapak. Saya dengar dia juga lagi cari waktu untuk ketemu bapak. Semoga dia mau jadi pembahasmu.”
Tak perlu menunggu aku segera menghubungi nomor yang dimaksud. Bakda memperkenalkan diri, aku menyampaikan maksud dan tujuanku menghubunginya. Alhamdulillah, seniorku tersebut bersedia. Nama dan NIM-nya tak lupa kucatat dengan cermat. Setelah itu aku berterima kasih kembali dan mohon pamit menutup telepon.
MasyaAllah. Alhamdulillah, inilah janji Allah. Inilah pertolongan Allah. Allah Yang Maha Menggenggam hati-hati manusia. Allah Yang Maha Berkehendak. Allah Yang Maha Mengetahui. Allah Yang Maha Mendengar doa dan rintihan hamba-Nya.
Allah telah mengatur segala kebaikan untuk hamba-Nya cuma tak jarang manusia tak punya cukup kesabaran dalam menanti kebaikan yang disiapkan tersebut. Padahal manusia hanya diminta untuk berusaha dan menyakini doa yang telah dipanjatkan.
Terakhir, aku berusaha memahami hikmah. Hari ini Allah menguji kesabaran dan kesungguhanku dalam berusaha sebelum nantinya aku diuji di hadapan dosen-dosenku dalam ujian seminar proposal.
Kesulitan dan kepayahan itu seolah tak pernah kurasakan sebab ia berganti menjadi kemudahan dan kasih sayang yang diturunkan berlapis-lapis dari langit.
Berawal dari kemudahan dan kelancaran selama proses ujian seminar proposal. Selanjutnya aku meneruskan penelitian dan merampungkan penulisan skripsi. Hingga akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dinyatakan lulus dalam ujian akhir skripsi di kampusku.
Aku bahagia, sebab diberi waktu dan kesempatan dalam meraih ilmu. Aku bahagia, sebab ilmu itu tak hanya kudapat ketika duduk di bangku kuliah, tapi juga dalam setiap episode dan peristiwa yang kujalani selama ini.
Sejumlah cobaan dan ujian yang kulalui dalam proses perjalanan panjang menuntut ilmu. Namun mengeluh bukanlah jalan keluar menghadapi semua itu. Tapi kesabaran, ketahanan berjuang, ibadah yang meningkat, keyakinan akan pertolongan Allah, serta ridha orangtua adalah rumus jitu dalam mengurai permasalahan tersebut.
Imam asy-Syafi’i berkata: Jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka engkau harus siap menanggung pahitnya kebodohan.* (Penulis adalah pegiat komunitas penulis Malika/Ummulqurahidayatullah.id/Hidayatullah.com)
Baca juga tulisan Mustabsyirah lainnya:
Subhanawllah.saya jg baru dtggl istri tercinta tgl 6 juni 2023 kmrn rindu ini teramat sangat berat dan sesak didada namun…
MasyaAllah Semoga bayi yang dititipkantersebut akan menjadi penerus pimpinan di kampus tersebut
yaa robb....kangen kamu...
Mantap Bang Sakkuru Muhammaddarrasullah!
Sama yg saya rasakan betapa rindunya saya dengan almarhumah istriku. 6 bulan berlalu kepergianya