Bukan Kisah ‘Rumput Tetangga Lebih Hijau’

[ILUSTRASI] Perumahan warga di Balikpapan.* [Foto: LPPH Gutem]

Ummulqurahidayatullah.id | AKU suka mendengarkan cerita dari siapa saja, karena pasti ada pelajaran yang bisa dipetik dari kisah hidup mereka.

Walau itu dari petani, pedagang, atau anak kecil sekalipun.

Sore itu cuaca tak seberapa panas. Aku menemani anak bermain ke kampung sebelah. Sambil memperhatikan anakku bermain, kusempatkan singgah ke rumah tetangga yang anaknya juga ikut bermain.

“Sehat, Kak?” sapaan akrabku pada tetanggaku, wanita 30 tahunan.

Kebetulan suamiku dan suaminya bekerja dalam satu organisasi yang sama. Jadi sudah tak asing bagi kami bertukar pengalaman senang maupun sedih saat suami lagi berdinas. Ini bukan tentang ‘rumput tetangga lebih hijau’.

Ia kemudian menuturkan kisah awal mula merintis dan mengembangkan cabang pondok pesantren di suatu kota.

“Waktu kami datang cuma ada ilalang dan rawa-rawa, masih hutan lah pokoknya,” tuturnya sambil merapikan ruang tamu yang sebenarnya terlihat sudah rapi.

Kisah Berpengaruh

Kisah seperti yang dituturkan tetanggaku ini sebenarnya sangat familiar sekali di telingaku, dengan pelaku yang berbeda.

Terakhir aku mendengar kisah serupa mungkin sembilan tahun lalu. Tepatnya saat menempuh pendidikan strata satu.

Bagiku, kisah-kisah itu termasuk dalam nominasi kisah berpengaruh, karena banyak pendahulu-pendahulu organisasi ini yang prolog perjuangannya sama dengan lawan mengobrolku sore itu.

Dalam hatiku tebersit rasa malu. Pendidikan saat kuliah dulu meskipun terdaftar sebagai jurusan hukum, tapi pelajaran, motivasi, dan lingkungan belajar sarat dengan nilai perjuangan membangun miniatur masyarakat berkeadaban.

Sangat masuk akal seharusnya jika aku menjalani kisah sebagaimana pengalaman tetanggaku ini. Tapi belum tentu caraku menyikapinya sama.

Kami saling bertukar pengalaman bertugas. Kulihat tak ada raut peluh apalagi kecewa di mimiknya. Tampaknya kehidupan yang yang ia jalani selama ini penuh kebahagiaan.

Padahal empat tahun lalu kakak ini diuji dengan sakit yang tidak ringan, saat buah hatinya masih berusia dini sekali. Ini bukan kali pertama ia bercerita tentang pengalamannya dan bukan kali pertama pula aku tak mendengar keluh kesah darinya.

Energi Itu…

Kadang aku mengira, seseorang yang merasakan hal terberat dalam hidupnya adalah orang yang sedang diliputi kekurangan dan ketidakberdayaan. Padahal, tidak selamanya begitu.

Ada sisi lain seseorang yang tidak bisa aku lihat. Tidak bisa sembarang orang bisa melihat. Bahkan mungkin tidak satupun orang dapat melihatnya. Yakni, hubungan seseorang dengan Allah.

Seperti teori-teori yang kudapat di bangku sekolah. Ada energi yang hanya bisa seseorang dapatkan jika ia mendekat pada Tuhannya. Energi yang menguatkan keimanan, melapangkan hati, dan mengokohkan langkah kaki.

Demikianlah gambaran aksaraku untuk kakak di depanku ini. Penampilan sederhana dan akhlakul karimahnya, bak kisah-kisah wanita tangguh zaman dahulu. Sehat dan istiqamah selalu, Kak!* (Rifqiyati Hudayani/Media Center @Ummulqurahidayatullah)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *