(Ayam) Tetanggaku, Ujianku

[ILUSTRASI by SKR/MCU]

Ummulqurahidayatullah.id | “YA ampun, ada lagi kotoran ayam di teras,” seru Ibu A sesaat setelah dia memasuki gerbang rumahnya.

Hampir setiap hari dia dihadapkan pada kondisi seperti itu.

“Aduh kembang-kembangku habis dibongkar ayam,” kata Ibu B ketika mendapati seluruh kembang yang baru ditanamnya sudah terpisah dari potnya. Media tanam berhamburan di lantai teras.

“Rasanya mau marah melihat cabai yang baru saja saya tanam dibelakang rumah habis dibongkar ayam,” Ibu C, yang baru saja tiba di tempat pertemuan rutin ibu-ibu kompleks itu, membuka pembicaraan.

“Iya kemarin juga saya tanam kacang panjang. Daunnya baru dua lembar, sudah habis dipatuk ayam,” tambah Ibu D, tidak mau ketinggalan mengungkapkan kekesalan atas ulah ayam tetangganya.

“Bagus kalau kita dapat telurnya, ini cuma dapat kotoran,” tambah seorang lainnya, Ibu E, yang baru bergabung dan semakin membuat ramai pembahasan tentang ayam.

Si ayam tentu saja tidak tahu kalau dirinya lagi viral dibahas oleh ibu-ibu komplek.

Ia juga tidak tahu betapa besar daya rusak yang muncul akibat ulahnya. Hati ibu-ibu menjadi dongkol, jengkel, kesal, marah dan berbagai kondisi lainnya yang tentu saja sebagai bentuk luapan protes atas aksi pelaku tersebut yang tidak lain adalah ayam.

Sebenarnya para ibu itu tidak marah pada ayamnya tapi pada si-empunya ayam-ayam itu. Mereka juga masih waras sehingga tidak otomatis menjatuhkan hukuman pada ayam-ayam tersebut.

Beda dengan para suami, tidak perlu suara keras, tidak perlu teriak tapi aksi nyatalah yang dilakukan. Sekali lempar, ayam-ayam tersebut kabur melarikan diri. Ada yang memilih jalan darat meski harus nabrak sana sini. Ada pula yang memilih jalan udara, terbang jauh meski tanpa petunjuk arah. Mereka mengamankan diri sebelum serangan berikutnya menyusul.

Selesai kah urusannya seiring dengan berakhirnya diskusi tentang ayam?

Tentu saja tidak, karena yang punya juga tidak mendengar apa yang mereka bahas. Yang ada esok hari dan esoknya lagi, hal serupa pun terus terulang. Si ayam masih merasa nyaman silaturahim ke rumah tetangga.

Sebenarnya ayam-ayam itu tidak mengenal peribahasa ‘rumput tetangga lebih hijau’, sehingga mereka harus merumput di rumah tetangga.

Itu terbukti dengan fakta bahwa di tempat tinggalnya memang sudah tidak tersisa satu rumput pun. Jadi di samping karena tergoda oleh tawaran di rumah tetangga yang menggiurkan, mungkin juga ayam-ayam itu mau mencari suasana baru alias healing.

Bijak sebagai Tetangga

Well, terlepas dari apa motif ayam-ayam tersebut anjang ke rumah tetangga, intinya hadirnya membawa masalah.

Masalahnya mereka tidak tahu jika itu membawa masalah. Oleh karenanya, langkah terbaik adalah bagaimana tuan mereka bijak dalam bersikap.

Sungguh, sebuah sikap yang sangat berkelas manakala si tuan-tuan pemilik ayam-ayam segera mengambil langkah preventif. Membuatkan tempat ternyaman untuk ayam-ayam mereka. Sesuntuk apapun kawanan yang bernama ayam itu di kandang yang disiapkan tuannya, mereka toh tidak akan protes apalagi berdemo.

Tugas si tuan cukup penuhi nafkah lahirnya, maka ayam-ayam itu akan menikmati harinya. Mereka tidak butuh lagi rumah tetangga, pot-pot tetangga, kebun tetangga karena yang dicari memang hanya makanan.

Saling Memahami

Hidup bertetangga memang harus saling memahami. Jika ada satu orang saja tetangga yang kurang bagus, maka tentu akan memberi pengaruh buruk bagi lingkungannya. Hubungan menjadi tidak harmonis dan kaku. Interaksi sebatas formalitas. Seolah-olah rukun padahal ketika masing-masing berpisah, maka tidak aman saudaranya dari lisannya.

Ini tentu sangat berbahaya. Disebabkan ketidakpekaan seorang tetangga menjadi jalan saudaranya berbuat dosa. Berawal dari ayam yang dibiarkan bebas mencari makanannya sendiri, tetangganya ikut terkena imbasnya karena berpeluang untuk mengghibah.* (Irma Muthiah/Ibu Rumah Tangga/MCU)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *