KH Abdullah Said di Mata Pendiri dan Perintis Hidayatullah [4]

[Ilustrasi] Buku ”Mencetak Kader” yang menceritakan sepak terjang KH Abdullah Said, Pendiri Hidayatullah.* [Foto: Muh. Abdus Syakur/MCU]

Berfikir Strategis dan Global

Hidayatullah.com | SUATU saat KH Abdullah Said memberi kuliah umum di Gunung Tembak, Kalimantan. Ada kalimat menarik yang diingat oleh Amin Mahmud, salah satu santri awal.

“Ada 2 hal yang harus dimiliki seorang pejuang, yaitu berpikir secara strategis dan melakukan hal secara taktis,” kata Kiai Abdullah Said.

Yang strategis itu tidak bisa diubah, yakni manhaj. Hal berikutnya adalah sistem berjamaah. Kemudian adanya kampus peradaban sebagai peragaan Islam secara kaafah. Selanjutnya adalah proses kaderisasi. Semua itu kemudian dipagari dengan adanya ketaatan.

Dengan hal-hal di atas, semua kader Hidayatullah meyakini bahwa nantinya akan menuju kepada kemenangan. “Kalaupun kita tidak merasakan kemenangan itu di dunia, paling tidak kelak di akhirat,” ujarnya.

Kiai Abdullah Said juga menekankan tentang pentingnya langkah yang taktis. Untuk merebut kemenangan, tidak mesti maju terus.  “Barangkali kita suatu saat harus mundur, demi menuju kemenangan. Ya kita mundur saja, daripada maju tapi berujung pada kekalahan.”

Kiai Abdullah Said lantas mencontohkan tentang orang yang ikut lomba tarik tambang. Justru kalau maju dia malah kalah. Gambaran lainnya adalah seperti orang menanam padi. Kalau maju, justru rusaklah padi itu.

Wawasan Global

Sistematika berpikir KH Abdullah Said begitu rapi. Perjalanan tahap demi tahapnya terukur.

Salah satu contoh tahapan itu adalah membuka lembaga kursus. Lembaga ini mampu menggaet calon kader dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga pegawai negeri dan para karyawan. Ternyata berbagai macam model manusia itu bisa “diolah” menjadi pejuang dakwah.

Salah satu peserta kursus adalah Abdul Qadir Jailani, seorang karyawan perusahaan asing. Pria asal Majene (Sulsel) ini merasa kesulitan berbahasa Inggris sehingga kemana-mana harus bawa kamus, padahal banyak rekan kerjanya adalah warga asing.

Ketika itu, Kota Balikpapan memang masih jarang ada lembaga serupa. Wajar jika tempat kursus ini diserbu peminat.

Karena merasa enjoy, Abdul Qadir bahkan akhirnya untuk menginap di tempat kursus. “Saya bawa tas, bantal, selimut, dan berbagai keperluan lain untuk tidur di tempat itu,” kenang Abdul Qadir.

Beberapa waktu kursus itu berjalan, kemudian Abdullah Said meminta waktu untuk mengajar. Ternyata isinya sama sekali tidak ada kaitannya dengan bahasa. Jadwalnya sepekan sekali, kemudian sepekan 2x, lanjut 3x, lama-lama kursus bahasa tidak ada lagi.

Bagi peserta yang niat awalnya hanya ingin kursus bahasa, maka akan berhenti. Sedangkan yang kemudian tersadar dengan doktrin-doktrin KH Abdullah Said yang penuh semangat, maka akan terus bertahan. Dari sinilah awal mula hadirnya santri.

“Beliau kalau menjelaskan berbagai hal tentang agama ini, sungguh luar biasa. Saya belum pernah menemukan orang yang seperti beliau itu,” ujar Abdul Qadir.

KH Abdullah Said juga membuka kursus mubaligh, bekerjasama dengan Muhammadiyah. Peminatnya membludak pula.

Para mubaligh “diprovokasi” agar bisa meratakan dakwah di Balikpapan. Banyak yang bertanya-tanya, apa bisa?

Belum juga para peserta memperoleh jawaban, KH Abdullah Said sudah menebar mimpi lebih jauh lagi. Yakni ingin meratakan dakwah ke Kalimantan Timur, lalu Kalimantan, lalu Indonesia, bahkan ke seluruh dunia.

Cita-citanya mengglobal. Tidak cuma dalam konteks geografis, namun gagasannya pun global mencakup berbagai hal, mulai dari dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Satu catatan penting bahwa semua itu harus dilandasi oleh aqidah yang kuat.

“Ruh perjuangan tidak boleh lepas dari aktivitas apapun. Kita harus kerahkan segenap harta dan jiwa. Tidak boleh padam. Berjuang dan terus berjuang. Inilah manifestasi jihad fii sabilillah,” katanya.

Para pendiri dan perintis sempat merasakan kurangnya waktu belajar sebagaimana di pesantren pada umumnya. Maklum, di masa itu kegiatan kerja bakti tak pernah berhenti.

Hasan Ibrahim sempat bertanya, “Apa kita tidak belajar Ustadz?”

“Ada saatnya nanti. Sekarang kita isi dan kuatkan aqidah dulu,” jawabnya.

Bukan berarti bahwa belajar atau pendidikan tidak penting, tetapi menurut Abdullah Said hal itu ada tahapannya. Para kader pun sami’na wa atha’na.

Sebagian kawan yang menangkap pesan itu secara sekilas, akhirnya ada yang mengambil jalan pintas dan mundur teratur. Kata mereka, di pesantren kok tidak belajar kitab kuning dan sejenisnya, sebagaimana pesantren pada umumnya.

Benak Abdullah Said juga dipenuhi berbagai rencana pengembangan ekonomi. Menurutnya, ini amat penting untuk menopang lajunya dakwah. Tidak cuma sebatas imbauan, namun sampai memberikan modal usaha. Hasilnya, ada kader yang akhirnya mampu beli mobil karena sukses jualan sayur.

“Kalau orang-orang ini jadi kaya, terus bagaimana Ustadz? Habis shalat berjamaah Shubuh mereka langsung pergi, jadi sulit melakukan aktivitas lain semisal mengaji atau koordinasi,” Hasan Ibrahim khawatir.

“Tidak begitu, nanti ada tahapannya,” jawab KH Abdullah Said.

Kelak di kemudian hari para kader baru bisa mengetahui bahwa rupanya KH Abdullah Said sudah punya rencana-rencana untuk pengembangan ekonomi.

“Kebijakan Kiai waktu itu telah jelas menggambarkan bahwa harus ada pengembangan di bidang ekonomi. Meskipun harus dilalui dengan jatuh bangun, perjuangan di bidang ini tidak boleh berhenti,” ujar Hasan.

Saat ini Hidayatullah telah mampu mengembangkan ekonomi dalam berbagai bentuknya. Misalnya supermarket, minimarket, dan berbagai amal usaha lainnya. Gagasan besar KH Abdullah Said di bidang ekonomi benar-benar telah menjadi realita, tidak sekadar cerita.* (Bersambung)/Pambudi Utomo

Sumber: hidayatullah.com

You may also like...

1 Response

  1. October 14, 2021

    […] KH Abdullah Said di Mata Pendiri dan Perintis Hidayatullah [4] […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *