KH Abdullah Said di Mata Pendiri dan Perintis Hidayatullah [3]

Melangkah dengan Sistematis
APA yang menjadi gagasan, pernyataan, dan tindakan Abdullah Said seringkali sulit ditangkap oleh sebagian sahabat dekatnya. Meskipun demikian, kelak di kemudian hari para pendiri dan perintis Hidayatullah akhirnya memahami bahwa sejatinya apa yang dilakukan itu sistematis dan runtut.
Di awal perkenalan, Hasan Ibrahim, Nazir Hasan, Hasyim HS, dan Kisman sempat menganggap bahwa Kiai Abdullah Said ini mubaligh biasa. Hanya memang dia punya keunggulan dalam hal retorika.
Setelah melewati pergelutan bertahun-tahun, mereka akhirnya memahami bahwa Abdullah Said ini adalah seorang pejuang, mujahid, yang berpikirnya sistematis. Selalu ada arah dan tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Ketika merintis kampus Gunung Tembak, misalnya, semua merasakan begitu beratnya. Para pemuda ini hidup menderita, tidur di bawah pohon, dan tinggal di tempat pembakaran batu bata. Proses tarbiyah terasa amat keras.
“Saat itu bisa dikatakan, siapa yang mau tinggal di pesantren ya silakan tinggal, yang mau pergi ya silakan pergi,” kenang Hasyim HS.
Tetapi itu semua ternyata merupakan tahapan dalam proses tarbiyah dan perjuangan yang berpengaruh besar terhadap ketangguhan para kader. Hasilnya terasa di kemudian hari.
Hasan Ibrahim kemudian menghubungkan proses pengkaderan semacam itu dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ternyata ada banyak kemiripan di berbagai sisinya, baik langkah maupun apa yang dialaminya.
Misalnya bagaimana Nabi mengalami masa-masa sulit ketika menjadi yatim, kemudian menyendiri di Goa Hira’, dan sebagainya. Fase perjuangan seperti itu juga dialami oleh para pendiri dan perintis Hidayatullah.
Nabi kemudian mengirim kader-kadernya ke berbagai wilayah untuk berdakwah. Hal itu juga dilakukan Kiai Abdullah ketika mengirim para da’i ke berbagai pelosok negeri.
Apa yang sering dikatakan oleh Nabi juga melompati zamannya. Misalnya ketika mengatakan bahwa kaum Muslimin akan menaklukkan Konstantinopel dan Roma, negeri yang kala itu menjadi super power. Visinya jauh ke depan dan akhirnya kelak benar-benar terbukti.
Suatu saat Kiai Abdullah Said pernah mengatakan, “Kita akan ratakan dakwah ini di seluruh Balikpapan.”
Para kader heran, bagaimana bisa? Saat itu Abdullah Said dan kawan-kawan belum punya apa-apa. Juga belum ada kader yang bisa diandalkan.
Di masa awal membangun rumah atau tepatnya gubug-gubug di Gunung Tembak, KH Abdullah Said sudah sering mengatakan, “Ini adalah kawasan Indomi (Indonesia Mini). Ada kawasan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain.
Atas izin Allah SWT, apa yang dikatakan di awal perintisan kampus Gunung Tembak itu akhirnya terbukti. Tidak cuma di Balikpapan atau Kalimantan Timur, kini bahkan Hidayatullah telah tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Terjun Bebas
Untuk mewujudkan gagasan besar hingga akhirnya menjadi kenyataan itu Kiai Abdullah Said melakukan berbagai langkah yang sistematis. Sistematika berpikir yang luar biasa itu baru bisa ditangkap ketika para pendiri dan perintis merangkai berbagai tahapan peristiwa sejak awal hingga saat ini.
Salah satu tahapan itu dimulai dengan pembukaan lembaga kursus Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Kursus Dakwah di Karang Rejo. Abdullah Said tidak langsung menyebutnya sebagai pesantren apalagi tempat pengkaderan.
Dari kegiatan ini, datanglah para pelajar yang kemudian “diolah” menjadi kader dan santri. Mereka yang sudah terbina kemudian ditugaskan ke masjid-masjid untuk mengajar mengaji, khutbah, ceramah, dan sejenisnya.
Padahal sejatinya ketika itu para santri belum memiliki bekal yang memadai untuk ceramah. Maju saja. Percaya diri. Lantas apa yang mesti disampaikan?
Mereka cukup menyampaikan materi yang disampaikan olehnya. Bahannya amat banyak karena pembinaan dilakukan tak kenal waktu. Pagi, siang, sore, malam. Bahkan seandainya ada waktu lagi, maka itupun akan dimanfaatkan untuk pengkaderan.
Barangkali karena materi dari Kiai Abdullah itu memang beda, maka ceramah yang disampaikan oleh para santri yang belum memiliki keterampilan memadai itu tetap mampu menggemparkan Balikpapan. Gerakan dakwah Hidayatullah senantiasa menjadi daya tarik dan perbincangan.
Tidak cukup sampai di situ. Berlanjut dengan penugasan para kader ke berbagai wilayah di Kaltim. Dalam waktu relatif singkat, kemudian segera ada cabang pesantren di berbagai daerah di Indonesia.
Lahirlah istilah da’i “terjun bebas”. Para kader yang ditugaskan itu tidak tahu harus menuju ke mana dan ketemu siapa, karena memang belum pernah tahu daerah tujuannya. Pokoknya dikirim saja. Bekalnya cuma keyakinan akan adanya pertolongan Allah SWT. Bismillah.
Salah satu nasihat Kiai Abdullah Said yang amat populer adalah, “Allah di Balikpapan sama dengan Allah yang ada di daerah lain. Jadi tidak usah khawatir karena pertolongan Allah itu ada di mana saja.”
Sekadar menyebut contoh, gambarannya seperti yang dialami oleh Yusuf Suradji, Suwardhany Soekarno, dan Hasan Suradji yang dikirim ke perbatasan Melak, Kutai Barat. Waktu itu belum ada transportasi mobil sehingga para kader harus naik perahu. Satu-satunya mobil yang ada adalah milik bupati.
Karena belum faham medan, maka beberapa hari kemudian Suwardhany hilang kontak dan keberadaannya tidak bisa dilacak. Hasan Ibrahim kemudian ditugaskan oleh Abdullah Said untuk mencari-carinya. Namun karena beratnya medan dakwah, justru akhirnya Hasan Ibrahim “hilang” juga.
Mereka akhirnya bisa bertemu setelah proses pencarian sekian lama. Itulah gambaran medan dakwah para kader yang memang berat, tapi tak menyurutkan langkah.* (bersambung)/Pambudi
Sumber: hidayatullah.com
masyaAllah..luar biasa para santri2 dalam menulis
Subhanawllah.saya jg baru dtggl istri tercinta tgl 6 juni 2023 kmrn rindu ini teramat sangat berat dan sesak didada namun…
MasyaAllah Semoga bayi yang dititipkantersebut akan menjadi penerus pimpinan di kampus tersebut
yaa robb....kangen kamu...
Mantap Bang Sakkuru Muhammaddarrasullah!