Ayah Bunda! Didiklah Anak Kita sebelum Kelahirannya

[Ilustasi] Santri MI RM Putra shalat berjamaah di Masjid Ar-Riyadh Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Ramadhan 1444H (24/3/2023).* [Foto: SKR/MCU]

Ummulqurahidayatullah.id | Hidayatullah.com– ibu dari dua orang putri, membuatku banyak memikirkan masa depan.

Seperti apa pendidikan yang akan mereka jalani, bahwa aku harus memastikan mereka beradab dahulu sebelum berilmu, seperti apa nantinya menjaga mereka tumbuh besar di tengah ganasnya pergaulan dan kejamnya dunia.

Aku mungkin terlalu pengecut dan lebay, tapi, melihat dunia hari ini, wajar kalau para ibu menjadi lebih was-was.

Hari ini saja sudah sehancur ini, bagaimana besok? Akan seganas apa lagi pergaulan sepuluh tahun ke depan? Akan secanggih apa lagi teknologi dua puluh tahun yang akan datang?

Semuanya masih misteri, namun garis besarnya sudah bisa terbaca, bahwa generasi masa depan akan mengalami tantangan yang sangat berat. Maka tugas orangtua untuk memastikan bahwa mereka siap dan sanggup menghadapinya.

Mulailah di kepala ini membuat daftar pendidikan yang baik, yang akan mengarahkan hidup mereka tidak melulu soal duniawi tetapi lebih mementingkan akhiratnya.

Ini bukan mimpi, ini visi yang harus tercapai dan ini jelas penuh rintangan yang amat berat.

Semakin lama, semakin selektiflah diri ini. Mulai menganalisa keadaan, mulai pula membandingkan, lembaga A dan B, keunggulan dan kelemahannya.

Dari jenjang PAUD hingga kuliah nanti, seperti apa pilihan-pilihan yang akan mereka ambil, bagaimana jika minat dan bakatnya mengarah ke sana dan ke sini, maka harus ada opsi.

Karena anak kami tidak boleh menjadi alat mencapai impian orangtuanya yang tidak kesampaian. Mereka punya pilihan dan setiap anak memiliki jalannya sendiri.

Bahkan sampai pada tingkat perkiraan biaya pendidikan, mulailah kami membuat buku tabungan pendidikan untuk dua buah hati kami yang masih bayi ini.

Zaman ini, ada harga, ada kualitas. Berani membayar lebih tinggi, seringkali memang lebih unggul secara fasilitas dan kualitas, meski tidak selalu seperti itu, tapi faktanya sekompetitif itu dunia pendidikan saat ini.

Sebagai seorang “working mom” yang bergelut di lembaga pendidikan, sedikit banyaknya membuka wawasan terkait kegiatan belajar mengajar, kurikulum, pembiayaan, marketing sekolah, dan yang berkaitan dengan sekolah lainnya.

Merasa puas dengan segala rencana dan analisa tentang “bagaimana pendidikan anak kami nantinya”, saya dengan bangga bisa menceritakan ke orang lain tentang opsi-opsi pendidikan terbaik versi kami.

Tidak ada yang salah sebenarnya, kata Benjamin Franklin, if you fail to plan, you plan to fail. Merencanakan hal-hal baik akan mempermudah untuk melaksanakan kebaikan tersebut.

Dihantam Kenyataan

Hingga di suatu hari, putri sulungku yang kala itu belum genap dua tahun menatapku dengan mata jernihnya, hanya karena aku mampu menggambar beberapa hewan untuknya, kudapati binar kekaguman, cinta dan sanjungannya untukku.

Ia tak mampu membahasakannya, namun aku tahu, kala itu, baginya aku adalah pahlawannya. Mendadak aku dihantam oleh kenyataan. Selama ini aku terlalu disibukkan dengan ide-ide dan rencana jangka panjang, sampai-sampai aku lupa bahwa al-umm Madrasatul Ula. Yang pertama lebih utama. Di pundakku pendidikan itu bermuara. Intensitas, kelekatan hati, dan pertautan doa adalah tiga hal yang tidak mungkin bisa digantikan oleh orang lain.

Bagaimana mungkin aku merencanakan pendidikan buah hatiku yang nantinya di tangani orang lain, sementara aku tidak merencanakan pendidikan anak yang harusnya kutangani? Aku mendidik anakku adalah kewajiban, sementara para guru mendidik anakku adalah pilihan, yang aku buat dan putuskan sendiri.

Aku menuntut kurikulum sekolah harus begini dan begitu, sementara aku mendidik mereka tanpa skill, dengan emosi yang labil, dengan ilmu yang pas-pasan, dengan komunikasi yang tidak terarah. Aduhai…!

Maka wajarlah jika Imam Al-Ghazali mengatakan, “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir.” Ini tentunya yang dimaksud adalah perencanaan. Beratnya mendidik anak itu tidak akan bisa dipikul jika tanpa persiapan yang tepat dan memadai.

Bahwa menikah bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi juga penyatuan komitmen untuk menjadi orang tua yang sevisi dalam pendidikan dan pengasuhan anak, sehingga ketika menikah dan memiliki anak, masing-masing sudah memahami tugasnya, tidak ada lagi perasaan, “Aku yang lebih lelah, atau aku yang lebih berjasa.”

Anak sejatinya membangun kepercayaan diri, kemampuan survive, kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang baik jika ia memiliki support system yang baik. Ini ada pada keluarga.

Orang tua sebagai pilar keluarga wajib menciptakan inner circle yang baik, sehingga anak bisa mengaktualisasikan kebaikan tersebut meski ia berada di luar lingkarannya.

Persiapkan diri kita untuk menjadi muara kebaikan untuk anak, mendidik dengan keikhlasan, menjaga dengan ketaatan, mencintai dengan segenap doa.* (Najmatun Nahdhah/Kepala Sekolah Menengah Hidayatullah Putri)

Tonton: Santri Cilik Jadi Buruh? Mereka Lagi Bangun Masjid #hidayatullah

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *