Survei: Mayoritas Warga Hidayatullah Siap Hadiri Silatnas 2023, Ini Ulasannya [1]

[Ilustrasi] Peserta Silatnas Hidayatullah 2018 mengikuti shalat berjamaah di Masjid Ar-Riyadh Kampus Induk Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kaltim.* [Foto: SKR/Media Silatnas Hidayatullah/MCU]

Oleh: Ustadz Muzakkir Usman, S.S., M.Ed., Ph.D.*

Ummulqurahidayatullah.id | SEBANYAK 85,6% dari dari 332 jama’ah, anggota dan kader Hidayatullah yang menjadi responden dalam survei yang baru saja dilakukan oleh Panitia Silaturrahim Nasional (Silatnas) Hidayatullah 2023, memastikan kesiapan untuk hadir di Silatnas Hidayatullah yang akan digelar pada November tahun 2023 ini.

Sebanyak 12,4% responden menyatakan ragu – ragu untuk hadir di Silatnas, dan hanya 2% yang tidak siap hadir.

Hal ini menggambarkan antusiasme yang sangat tinggi dari kader – kader Hidayatullah dalam merespons kegiatan kultural yang sejak tahun 2000 dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini.

Lantas, apa yang menarik dari kegiatan Silaturrahim nasional (Silatnas)  Hidayatullah, hingga membuat mereka berbondong – bondong hadir pada setiap kegiatan ini?

Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak terlalu penting bagi sebagian kalangan, tapi bisa memberi gambaran khususnya bagi panitia Silatnas untuk dapat memberi layanan terbaik agar panitia tersenyum, peserta bahagia, dan semua tercerahkan spiritnya sebagaimana tagline yang sudah satu tahun ini dikumandangkan oleh panitia.

Hasil survei yang dilakukan di pertengahan Agustus 2023, dengan melibatkan 332 responden mengungkap bahwa terdapat empat faktor penting yang melatarbelakangi niatan anggota, jamaah, dan kader Hidayatullah seantero Nusantara, untuk hadir di Silatnas Hidayatullah nanti.

Empat harapan tersebut yaitu Silaturrahim, Pencerahan Spiritual, Melihat Peragaan Miniatur Peradaban di Gunung Tembak, dan Mendengarkan Prospek Hidayatullah Pasca 50 Tahun Pertama. Sekumpulan harapan yang membutuhkan energi besar bagi panitia Silatnas yang dikomandani Dr. Arfan AU untuk bermujahadah mewujudkannya.

Silaturrahim

Motivasi terbesar jamaah, anggota, dan kader Hidayatullah dari seluruh pelosok Indonesia untuk berbondong  – bondong hadir di Kampus Induk Hidayatullah Ummul Qura Gunung Tembak mayoritas didorong oleh keinginan untuk silaturrahim (81%) dengan sesama anggota dan kader Hidayatullah.

Ini sebuah motivasi yang memperlihatkan ukhuwah yang sangat tinggi antara personil yang ada di lembaga. Tanpa memandang status yang diemban di lembaga, apakah kader struktural (seperti pengurus DPD hingga DPP, DMW hingga DMP, serta Dewan Mudzakarah), kader fungsional (pengurus kampus PPH), kader profesional (karyawan di amal usaha Hidayatullah), atau hanya jamaah dan anggota biasa.

Semua tergerak dan termotivasi untuk berangkat dari kota hingga pelosok pedesaan untuk bertatap muka, berjabat tangan guna melepaskan rindu setelah sekian tahun terpisah. Muda, tua, laki, dan perempuan, semuanya menyatakan kerinduan untuk bersilaturrahim dalam momen kultural nasional Hidayatullah ini.

Silatnas Hidayatullah yang telah digelar untuk kesekian kali sejak zaman pendirinya Allahu yarham KH Abdullah Said, hingga di masa kepemimpinan KH Abdurrahman Muhammad hafidzahullahu saat ini, merupakan sarana strategis untuk memperkuat dan memperkokoh tali ukhuwah yang telah sekian lama dibangun di lembaga ini khususnya antar jamaah, anggota, dan para kader.

Prinsip salam, senyum, sapa, dan santun (4S) sudah lama terinternalisasi dalam diri mereka, jauh sebelum istilah ini digunakan secara formal menjadi budaya organisasi di institusi atau lembaga lainnya di negeri ini. Spirit ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang senantiasa diintrodusir kepada kader Hidayatullah dari sejak berdirinya hingga sekarang yaitu:

أيُّهَا النَّاسُ : أَفْشُوا السَّلامَ ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

”Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia lain tengah tertidur; niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera. (At Tirmidzi)

Maka kegiatan Silatnas Hidayatullah kali ini, sebagaimana gelaran sebelumnya, harus memberi ruang lebih kepada para kader untuk saling sapa, bersalaman, dan berjabat tangan, serta memperlihatkan senyum kepada sesama saudara seperjuangan.

Warga Hidayatullah Ummulqura dapat memainkan peran sebagai kaum Anshar yang menyambut kedatangan sahabat – sahabat Muhajirin dari seluruh kepulauan Nusantara, dengan mempersiapkan jamuan terbaik untuk sekadar melepas dahaga dan rasa lapar yang didera, setelah melalui perjalanan dengan jarak tempuh yang mungkin sangat jauh dan menghabiskan durasi waktu yang lama.

Tentu saja, jangan sampai ada yang merasa terdzalimi dan diberatkan, sehingga peserta Silatnas yang datang dari daerah juga boleh berlomba – lomba dalam kebaikan dalam hal memberi makan dengan membawa makanan khas dari daerah masing – masing. Kalaupun saling memberi makan masih belum bisa optimal dilakukan, nuansa silaturrahim jangan sampai terlewat begitu saja.

Diperlukan sebuah rekayasa secara jama’i oleh panitia Silatnas untuk memfasilitasi peserta agar dapat menunaikan kegiatan salam, sapa, dan senyum ini, untuk berjabat tangan mengalirkan  energi positif dalam memperjuangkan peradaban Islam melalui lembaga ini.

[Ilustrasi] Peserta Silatnas Hidayatullah asal Papua tiba di Kampus Induk Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kaltim (19/11/2018).* [Foto: SKR/MCU]

Pencerahan Spiritual

Sebagaimana lazimnya gelaran Silatnas, faktor berikutnya yang mempengaruhi jamaah, anggota, dan kader Hidayatullah untuk hadir adalah mendapatkan pencerahan spiritual dari para asaatidzah, khususnya dari Bapak Pemimpin Umum.

Survei yang melibatkan 64,7% kader di bawah usia 40 tahun dan 35,3% sisanya berusia 40 tahun ke atas mengungkap, kehadiran mereka pada kegiatan Silatnas bukan sekadar silaturrahim. Tetapi juga untuk mendapatkan pencerahan baik dari sesama asaatidzah Hidayatullah dan khususnya dari Bapak Pemimpin Umum  (63,6% dan 53,6% secara berturut – turut).

Adapun motivasi berikutnya yang menggerakkan para kader Hidayatullah se-Indonesia untuk mengikuti kegiatan Silatnas 2023 ini adalah untuk melihat secara langsung bagaimana peragaan peradaban Islam versi Hidayatullah di miniatur kampus pusat peradaban Gunung Tembak (35%). Diikuti oleh motivasi mendengarkan pemaparan tentang bagaimana prospek Hidayatullah pasca periode 50 tahun pertama, 1973 – 2023, (33,7%).

Hasil survei ini menjadi gambaran bahwa peserta Silatnas bukan sekadar hadir untuk jalan – jalan (11%) dan terlibat dalam kegiatan bisnis (7,2%), walaupun tentu tidak dilarang karena panitia juga menyiapkan perangkat untuk kedua hal tersebut (sarana transportasi dan bazar Silatnas). Tetapi mereka hadir selain untuk silaturrahim, juga untuk mendapatkan pencerahan spiritual berupa spiritual naratif (ceramah dan pengarahan) dan spiritual peragaan (nuansa peradaban kampus Hidayatullah), serta mendapatkan prospek perjalanan Hidayatullah pasca 50 tahun pertama.

Menghadirkan sosok – sosok penting dalam perjalanan Hidayatullah pada gelaran Silatnas ini merupakan momentum strategis untuk mentransformasikan nilai – nilai fundamental yang menjadi pondasi kehadiran Hidayatullah.

Pendiri Hidayatullah yang saat ini tersisa 1 orang yang masih hidup, KH Muhammad Hasyim HS, yang sejak Ramadhan kemarin diuji dengan penyakit stroke (semoga Allah memberi kesehatan kepada beliau), serta para perintis yang masih sehat, sangat diperlukan untuk menyampaikan nilai – nilai spiritual yang mereka dapatkan dan aktualisasikan dalam mengemban amanah perjuangan khususnya nilai keikhlasan.

Ya, keihklasan ini yang ke depan akan menjadi simpul kuat bagi kader Hidayatullah untuk tidak saling berburuk sangka, menuding, apalagi menjatuhkan satu sama lain. Dengan gerakan organisasi terbuka berupa ormas yang dideklarasikan sejak tahun 2000 silam, persoalan kemandirian ekonomi personil – personil kader Hidayatullah jangan sampai menghadirkan instabilitas sosial sehingga merusak ukhuwah dan ikatan perjuangan.

Di sinilah peran nilai keikhlasan menjadi krusial, dan ia hanya bisa didapatkan dengan kesadaran, latihan, dan istiqamah. Peran para sesepuh lembaga (khususnya Pendiri dan Perintis) didukung oleh para murabbi sangat diperlukan untuk menguatkan karakter keikhlasan ini.

Terlebih lagi, dalam catatan sejarah Silatnas yang digelar pada masa Allahu yarham KH Abdullah Said, istilah pertajam “nawaitu” sering digunakan untuk menekankan keharusan para kader meluruskan niat, yang mungkin dalam perjalanan perjuangan di daerah sedikit tergerus oleh bumbu – bumbu godaan dunia hingga menciderai keikhlasan mereka dalam berjuang.

Pengalaman terbaik (best experience) khususnya dalam hal spiritual juga perlu ditransformasikan kepada peserta Silatnas oleh kader – kader yang teridentifikasi kredibel dan kompeten oleh panitia untuk membagikan pengalamannya pada momen lima tahunan ini.

Walaupun bersifat subyektif (hanya diketahui oleh pelaku) dan terkesan abstrak (karena didapatkan dengan intuisi atau jiwa), pengalaman spiritual seperti peran qiyamul lail dalam meningkatkan keberanian berdakwah di daerah pedalaman, atau peran infaq dalam menghadirkan rasa gembira mengemban amanah, perlu diceritakan dan dibagikan kepada orang banyak, khususnya pada momentum yang menghadirkan dua puluhan ribu anggota dan kader Hidayatullah ini. Tujuannya, agar ada penguatan terhadap nilai – nilai spiritual yang harus senantiasa dihidupkan dalam diri kader Hidayatullah.

Di sinilah diperlukan kegiatan sharing session yang bersifat jama’i terbuka atau bersifat peserta bertujuan (purposive participants) selama helatan kegiatan Silatnas ini. Agar momen sharing session ini dimanfaatkan untuk menginjeksi peserta dengan suntikan spiritual.

Kehadiran pemuda – pemuda usia 30 tahun ke bawah yang telah menyatakan kesiapannya untuk menempuh perjalanan darat (touring), mengarungi ombak di lautan, dan mengendarai burung besi dengan jarak hingga ribuan mil (seperti Papua – Balikpapan), merupakan momentum untuk melakukan transformasi spiritual dari para senior dan tokoh spiritual lembaga.

[Ilustasi] Dokumentasi Silatnas Hidayatullah di Ponpes Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kaltim (20/6/2013).* [Foto: SKR/Media Silatnas Hidayatullah/MCU]

Pencerahan Spiritual Pemimpin Umum

Tentu saja puncak dari pencerahan spiritual sebagaimana yang tergambar dari survei tersebut, adalah mendapatkan pencerahan spiritual dari figur sentral Hidayatullah saat ini, yaitu Pemimpin Umum KH Abdurrahman Muhammad hafidzahullahu.

Keluasan bacaan beliau terhadap fenomena perkembangan Islam di Indonesia dan dunia sangat layak untuk dinantikan sebagai hidangan utama dari perhelatan Silatnas ini. Kerinduan silaturrahim dari peserta Silatnas sesungguhnya memuncak dengan melihat wajah Pemimpin Umum, bersalaman dengan beliau, hingga mendengar suara tegas dan penuh semangat ketika menyampaikan taujih dan pengarahan di podium.

Kelelahan kader dalam perjalanan fisik menuju Kota Balikpapan dan (mungkin) kelelahan kader dalam mengemban amanah di lembaga perjuangan ini, akan terbayar tunai seketika, terganti dengan semangat juang yang menggelora, saat mendengarkan untaian kalimat – kalimat pencerahan keluar dari lisan pemimpin tertinggi di Hidayatullah ini.

Tentu kita tidak bisa membatasi muatan apa yang akan disampaikan Pemimpin Umum dalam helatan Silatnas kali ini. Kita hanya bertanya – tanya, kalau 10 tahun lalu, tepatnya pada tahun 2013,  Silatnas menghasilkan Piagam Gunung Tembak, kemudian pada Silatnas berikutnya, yaitu tahun 2018, Silatnas melahirkan deklarasi kader terhadap Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH), kira – kira apa yang akan dihasilkan dalam Silatnas 2023 nanti?

Seringkali Pemimpin Umum menyampaikan bahwa itu semua tergantung pada apa yang dihasilkan dari kekuatan spiritual yang dilakukan. Tentu tugas kita sebagai anggota dan kader Hidayatullah adalah senantiasa mendoakan agar Pemimpin Umum diberi kesehatan, kekuatan, dan petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala supaya pada perhelatan Silatnas nanti khususnya, beliau mampu mentransformasikan kekuatan spiritual yang beliau rasakan.

Tanpa bermaksud membatasi, ada satu hal yang akhir – akhir ini sering diangkat oleh beliau dalam berbagai pengarahannya pada berbagai kesempatan. Satu diskursus tentang epistemologi ilmu baik secara implisit maupun eksplisit.

Ada harapan kuat dari Pemimpin Umum bahwa kalau kader mampu berinteraksi dengan wahyu Allah bukan saja secara bayani (tekstual), tetapi juga mampu mengkontekstualisasinya dalam kehidupan, maka akan bertambah kekuatan untuk mewujudkan cita  – cita besar Hidayatullah yaitu Membangun Peradaban Islam.

Tentu saja hal ini dapat dilakukan dengan syarat kader senantiasa tergerak untuk mengaktivasi instrumen Iqra (akal dan indera) serta menghidupkan ruh atau jiwanya.

Maka kontekstualisasi panggung peradaban Islam, yang seringkali dibahasakan dengan terminologi “furqani” (dalam tangkapan nalar subyektif penulis), akan mampu mengantarkan kader – kader Hidayatullah menjadi pelopor – pelopor teraktualisasinya nilai – nilai peradaban Islam.

Pemimpin Umum seakan ingin menegaskan ulang bahwa kekuatan syahadat yang lahir dari proses “iqra bismirobbik” dan telah dirasakan oleh kader awal lembaga Hidayatullah, melalui proses tilawah, tazkiyah, dan ta’limah pada proses awal kehadiran Hidayatullah, perlu dtransformasikan dengan multi pendekatan. Termasuk pendekatan epistemologi ilmu. Agar semakin banyak yang sadar dan yakin akan kekuatan berIslam (bersyahadat) melalui iqra “bismirobbik”.

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan Allahu yarham KH Abdullah Said dalam mengkultivasi (menumbuhkan) kesadaran bertauhid hingga menghunjam kuat dalam diri generasi awal Hidayatullah adalah dengan melakukan transformasi “iqra bismirobbik”.

Inilah yang menjadi starting point kader – kader Hidayatullah hingga muncul istilah “keracunan syahadat” atau bahkan lebih ekstrem lagi “mabuk  syahadat” untuk mengenal Islam dan mengenal Allah. Hingga menjadikan mereka generasi yang ahli ibadah dan mewakafkan dirinya dalam perjuangan di lembaga ini.

Diskursus epistemologi Islam, yang sesungguhnya bukan barang baru di Hidayatullah (dengan kajian “iqra bismirobbik”), menjadi diskursus yang sangat perlu untuk dituangkan dalam narasi konsepsi agar bisa disebarkan secara lebih masif kepada masyarakat ramai.

Era kejayaan Islam sesungguhnya dimulai dari pergeseran epistemologi wahyu kepada epistemologi ilmu versi peradaban Barat yang mengusung rasionalisme dan empirisme. Nyaris selama belasan abad ini, terjadi imperialisme epistemologi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh peradaban Barat terhadap masyarakat global.

Hasilnya adalah, hampir di semua sektor saat ini, peradaban Barat mampu memodernisasi kehidupan dengan epistemologi rasionalisme – empiris yang menghasilkan masyarakat sekuler (memisahkan urusan keduniaan dari agama) bahkan cenderung ateis (menafikan keberadaan Tuhan).

Pada saat yang sama, epistemologi Islam terjebak dalam epistemologi tekstual yang tidak mampu memanifestasikan kandungan wahyu ke dalam kehidupan. Jadilah masyarakat Islam semakin tertinggal oleh hegemoni peradaban Barat. Mayoritas ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang pernah dikuasai bahkan diinisiasi oleh ummat Islam kini hanya tinggal catatan sejarah beralih pada sentralisasi pusat pengetahuan di dunia Barat.

Beberapa nalar epistemologi Islam yang coba ditawarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (MNA) dengan Islamisasi ilmu, diperkaya oleh Ismail Raji Al Faruqi dengan epistemologi integrasi ilmu, belum memberi impact kuat terhadap kembalinya kejayaan Islam dalam bidang pengetahuan yang memberi kebermanfaatan kepada khalayak ramai.

Salah satu penyebabnya, karena konsepsi nalar berpikir Syed MNA  dan Ismail Raji Al Farquri hanya berhenti di dunia akademik (ISTAC dan IIT) tanpa terwujudnya sebuah komunitas peragaan epistemologi tersebut.

Maka Nalar berpikir “iqra bismirobbik” sebagai epistemologi ilmu yang bukan hanya menumbuhkan semangat mencari dan mengembangkan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan dan menguatkan kesadaran bertauhid “Laa ilaaha Illalaahu” menjadi daya tawar bagi Hidayatullah untuk menebarkannya kepada seluruh insan manusia di bumi Allah ini.

Apakah kita akan mendengar kajian epistemologi dari Pemimpin Umum yang juga terkenal tokoh filosof di Hidayatullah pada gelaran Silatnas nanti?

Apakah beliau akan membahas secara mendalam terminologi “furqani” untuk mengungkap hikmah dari makna Qur’an sebagai ‘furqan’ yang senantiasa bergejolak dalam fikiran beliau?

Akankah ada gerakan menghadirkan konsepsi nalar berpikir iqra bismirobbik” sebagai “epistemologi berislam? Wallahu ta’aala a’lam, kita tunggu saja sajiannya pada Silatnas mendatang.* (BERSAMBUNG/Media Silatnas Hidayatullah/MCU)

  • Direktur Hidayatullah Institute

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *