Meneladani Kesederhanaan Bunda Aida “Khirid”

Ustadzah Aida Chered, istri dari Pendiri Hidayatullah KH Abdullah Said, wafat pada hari Jumat (17/09/2021) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. [Foto: Muh. Abdus Syakur/MCU/hidayatullah.com]

GUNUNG TEMBAK– Wafatnya Ustadzah Hj. Aida Chered, istri dari Pendiri Hidayatullah KH Abdullah Said, pada hari Jumat, 10 Safar 1443 (17/09/2021) lalu masih menyisakan duka dan rasa kehilangan yang amat mendalam. Termasuk berbagai kenangan tak terlupakan tentang beliau. Almarhumah tidak saja dikenal dengan kesabaran dan keuletannya dalam setiap akifitas dakwah mendampingi sang suami. Ia juga diketahui hidup dengan sangat sederhana.

Saat meninggal, tak ada perhiasan yang melekat padanya kecuali pakaian sederhana yang menutupi tubuhnya. Begitu pulalah penampilan almarhumah sehari-hari.

Bahkan, di tempat tinggalnya yang sederhana di bilangan Gunung Tembak, Balikpapan, pun tak terdapat furnitur yang terbilang mewah selain beberapa perabotan rumah dan kursi untuk menerima tamu.

“Kami pikir selama ini, baju ibu banyak. Setelah ibu pergi kami baru sadar kalau baju ibu tidak lebih dari hitungan jari. Sarung-sarung shalat ibu ternyata sarung kwalitas Dinsos. Dan itu yang melekat sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya, tapi bersih, rapi, tidak berbau, selalu terlihat pada penampilan ibu,” kata Ulfiah Sa’adah, salah seorang anak almarhumah.

“Tidak ada satupun perhiasan yang melekat pada tubuh ibu. Tidak ada sepatu dan sendal yang berjejer di rak sepatu. Ibu cuma punya sepatu satu yang dibeli beberapa tahun yang lalu yang belakangan sudah tidak nyaman untuk beliau pakai,” lanjutnya.

Tak hanya kesederhanaan beliau dalam hidup keseharian, Bunda Aida Chered (baca: “Khirid) juga diketahui amat sederhana di dalam rumah. Perlengkapan yang ada di rumah seperti gelas, piring, seprei, ambal tak berlebihan yang semata digunakan untuk kenyamanan tamu tamu yang datang. Bahkan kursi pun ala kadarnya.

“Ada kursi kecil untuk terima tamu tetapi yang jika tamu datang lebih dari dua otomatis semua harus lesehan karena kursi hanya ada dua,” lanjut Ulfiah.

Ulfiah mengatakan, hal tersebut semata-mata sebagai pengingat tentang kebersahajaan dan kesederhanaan almarhumah yang diharapkan anak cucu generasi selanjutnya dapat meneruskan perjuangannya.

Dalam buku Mencetak Kader yang ditulis oleh almarhum Ust Manshur Salbu yang juga merupakan sekretaris pribadi Allahuyarham KH Abdullah Said, pendiri Hidayatullah ini pernah menyampaikan pesan seperti berikut:

“Saya nasihatkan kepada istri dan anak-anak saya serta jamaah sekalian, jaga dan peliharalah lembaga ini (Pondok Pesantren Hidayatullah-pen.), kembangkan dan besarkan sebagai karya kita semua dan tempat berkiprah kita yang mudah-mudahan akan mengantar menuju kesuksesan dunia-akhirat. Ini merupakan karya raksasa yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara dari gangguan-gangguan, baik yang datangnya dari jalur internal ataupun eksternal. Kita akan berkembang berbarengan dengan perkembangan lembaga ini. Kita akan besar seirama dengan besarnya lembaga ini”.

Nasihat itu rupanya melekat betul dalam anggota keluarganya dan hingga kini menjadi warisan yang sangat berharga.

Ketika KH Abdullah Said wafat, banyak sekali orang yang menyumbang. Ibu Aida Chered lama memegang uang sumbangan itu di amplop. Jumlahnya tidak pernah dihitung, tapi pasti banyak karena amplopnya besar dan penuh. Uang itu diserahkan kepada pengurus Yayasan tanpa disisakan.

Pengurus menyampaikan bahwa uang itu sah milik Ibu Aida. Banyak pula yang berbisik-bisik, sebaiknya uang itu ditabung oleh Ibu Aida untuk kelak menjadi biaya anak-anaknya melanjutkan sekolah.

Namun, ternyata, beliau tetap tidak mau mengambilnya sedikitpun. Ada rasa takut menggunakan uang itu karena beliau merasa dilarang oleh Allahuyarham Abdullah Said.

Baca: Istri Pendiri Hidayatullah, Syarifah Aida “Khirid” Sang Dzurriyah Rasulullah

Para pembimbing mendatanginya satu hari, untuk meminta pendapat bagaimana saran-saran Ibu Aida sehubungan dengan wafatnya Allahuyarham.

“Saya ini seorang kader. Saya tidak perlu menuntut macam-macam sebagaimana yang sering dinasihatkan oleh Allahuyarham, yang penting kita berupaya melanjutkan perjuangannya, ” ujarnya.

Demikian halnya para assabiqunal- awwalun. Walaupun ada yang keadaannya terseok-seok, namun tetap menjadi garda terdepan dari lembaga untuk menjaga keutuhan solidaritas dan soliditas. Mereka tidak ingin melihat lembaga yang telah diperjuangkan KH Abdullah Said itu gagal mencapai harapan dan cita-cita.*

Sumber: hidayatullah.or.di

You may also like...

2 Responses

  1. October 21, 2021

    […] Baca juga: Meneladani Kesederhanaan Bunda Aida “Khirid” […]

  2. October 21, 2021

    […] Baca juga: Meneladani Kesederhanaan Bunda Aida “Khirid” […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *