Hindari Konflik, Umat Islam Perlu Memahami Urusan Hibah

Ustadz Ahmad Rifai, Lc., mengisi khutbah Jumat di Masjid Ar-Riyadh Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan (7/6/2024).* [Foto: SKR/MCU]

Ummulqurahidayatullah.id- Pada kajian bakda maghrib di Masjid Ar-Riyadh Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan (2/7/2024), Ustadz Ahmad Rifai, Lc., M.H, membahas salah satu topik menarik dari Kitab Hadits Ahkam.Yaitu pembahasan mengenai hibah, khususnya Al-Umrah, hibah dengan syarat.

Ustadz Ahmad Rifai menjelaskan bahwa Al-Umrah bukanlah ibadah umrah, melainkan salah satu jenis hibah.

“Dalam hibah ini, pemberi hibah menetapkan batas waktu kepemilikan. Contohnya, seseorang memberikan rumah dengan syarat jika penerima meninggal terlebih dahulu, maka rumah tersebut akan kembali kepada pemberi hibah. Sebaliknya, jika pemberi hibah yang meninggal lebih dahulu, maka rumah tersebut sepenuhnya menjadi milik penerima,” jelasnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa hibah yang diberikan tanpa syarat-syarat tertentu menjadi hak milik penuh penerima hibah.

Tambahan dari riwayat Muslim menyebutkan, “Tahanlah harta-harta yang kalian miliki dan janganlah kalian merusaknya.”

Artinya, ketika seseorang menghibahkan harta kepada orang lain, maka harta tersebut sepenuhnya menjadi milik penerima tanpa memandang siapa yang meninggal terlebih dahulu. Bahkan, harta tersebut bisa menjadi warisan bagi keturunan penerima hibah.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa Al-Umrah termasuk jenis hibah yang dibolehkan. “Namun, ada perbedaan antara hibah mutlak dan hibah dengan syarat,” tegas Ustadz Ahmad Rifa’i.

“Jika seseorang mengatakan, “Ini adalah milikmu dan untuk keturunanmu,” maka hibah tersebut sah. Tetapi jika ia berkata, “Ini untukmu selama engkau masih hidup,” maka hibah itu tidak masuk dalam kategori Al-Umrah karena ketika penerima hibah meninggal, harta akan kembali kepada pemberi hibah,” lanjut dosen STIS Hidayatullah ini.

Hindari Sengketa

Permasalahan ini sering menimbulkan sengketa dalam masyarakat. Contohnya, ketika seseorang memberikan rumah kepada saudaranya dengan syarat selama ia hidup, setelah ia meninggal, anak-anaknya mengira rumah itu adalah milik orang tua mereka. Hal ini bisa menimbulkan konflik keluarga.

Kemudian soal pentingnya bukti dalam hibah. Ustadz Ahmad Rifai menekankan pentingnya bukti yang kuat dalam urusan muamalah, termasuk hibah, untuk mencegah konflik dan pemanfaatan yang tidak benar oleh pihak-pihak tertentu.

“Dengan bukti yang kuat, kepemilikan harta dapat dipastikan dan menghindarkan keluarga dari sengketa,” ulasnya.

Kajian ini memberikan kita pemahaman mendalam tentang pentingnya memperhatikan syarat dan bukti dalam hibah, serta bagaimana Islam mengatur aspek-aspek muamalah untuk menjaga keharmonisan dan keadilan dalam masyarakat.

Ustadz Ahmad Rifa’i lantas berpesan bahwa sebagai Muslim jadilah orang yang gemar memberikan kebahagiaan kepada sesama. Karena Rasulullah mencintai amalan yang seperti itu, “Memasukkan kegembiraan kepada sesama Muslim,” tutupnya.* (Herim/MCU)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *