Membentuk Jati Diri Kader: Jawaban Hidayatullah atas Hausnya Umat

Ummulqurahidayatullah.id- | FENOMENA umat Islam, khususnya kalangan muda, kini menunjukkan tren baru. Mereka tak lagi hanya puas dengan retorika. Mereka haus akan langkah konkret dan solusi nyata dalam memajukan dakwah.
Di tengah kondisi ini, refleksi terhadap jati diri organisasi menjadi sangat relevan.
Belum lama ini saya membaca buku “Jati Diri Hidayatullah 1: Sistematika Wahyu”. Penjelasannya menawarkan landasan kuat. Buku ini menekankan tiga pilar utama yang harus dipegang teguh oleh setiap kader.
Pilar 1: Berkorban & Ekspansi
Jati diri Hidayatullah menuntut semangat berkorban dan sikap ekspansif. Para pendiri dan kader awal adalah contoh nyata. Mereka bergerak maju dengan militansi tinggi. Pertanyaannya, bagaimana nilai pengorbanan ini terus terawat hingga kini?
Bagi anak muda saat ini, nilai ini berarti keberanian mengambil risiko dakwah. Bukan hanya fokus pada area nyaman. Ini tentang meluaskan jangkauan dakwah dengan inovasi dan teknologi.
Pada era digital sekarang, kader-kader harus memiliki kesadaran dakwah digital yang tinggi. Tidak sebatas siap menjadi konten kreator tetapi juga mampu menjadi bagian dari amplifikasi narasi Jati Diri itu sendiri.
Dengan demikian, maka algoritma akan menemukan satu “fenomena” tertentu dan mungkin akan menyesuaikan atau bahkan mendukung arus kebaikan yang kita gaungkan bersama.
Dan, kembali pada hal paling mendasar semua ini butuh semangat. Utamanya, semangat berkorban, yang harus kita wujudkan dalam pengabdian yang melampaui kepentingan pribadi.
Pilar 2: Tawakkal & Semangat
Modal utama pergerakan ini adalah tawakkal dan semangat untuk sukses. Kekuatan membangun jamaah masih hidup. Semangat mencapai visi juga tetap kuat. Training perkaderan terus berjalan. Semua ini menjadi kekuatan yang sudah ada.
Tantangannya adalah menghilangkan kesenjangan. Jangan sampai ada gap signifikan antara praktik dan teori.
Lantas bagaimana tawakkal pada era digital? Ustadz Endang Abdurrahman dalam satu kesempatan pernah mengatakan, tawakkal kita sekarang adalah bagaimana bisa sinergi dan kolaborasi. Hidayatullah telah berkembang dengan sejumlah unit yang juga tak berhenti maju.
Hal itu menggembirakan, namun tetap butuh ada pihak yang mampu mengorganisir lebih baik. Butuh dirigen, sehingga harmoni semakin teguh.
Dalam konteks ini, maka kader muda harus membuktikan bahwa kekuatan spiritual ini nyata.
Ia harus mampu menghasilkan karya dan kesuksesan yang terlihat jelas. Kekuatan ini harus diterjemahkan menjadi keberhasilan pembangunan umat yang konkret.
Pilar 3: Kader = Ideolog
Inilah poin paling tajam. Kader Hidayatullah dituntut menjadi ideolog. Mereka harus unggul, bukan hanya secara intelektual yang bersifat literal. Ideolog memiliki tugas menembus batas pemikiran biasa.
Ideolog harus memiliki kekuatan spiritual melebihi yang dipimpin. Spiritual ini penting untuk menembus dimensi visi. Visi besar sering tidak terlihat oleh kebanyakan orang.
Pemimpin Umum Hidayatullah, KH Abdurrahman Muhammad, pernah memberikan ilustrasi jelas akan hal ini.
“Membaca Quran 1 juz itu anggota atau kader biasa. Pemimpin itu tidak lagi satu hari 1 juz,” kata beliau.
Apalagi kalau ingat akan kandungan Surah Al-Muzammil. Jati Diri itu menekankan sintesis dari Al-Muzzammil 1-10. Ayat ini memerintahkan penggabungan kekuatan intelektual dan spiritual.
Jika kader mampu menjawab kebutuhan umat akan kedamaian dan ketenangan jiwa, dampaknya akan global. Tokoh dunia bahkan akan mencari para kader Hidayatullah. Artinya, solusi yang ditawarkan harus bersifat universal dan mendalam.
Nilai-nilai jati diri ini sangat relevan untuk menggerakkan umat hari ini. Ini menawarkan jalan keluar dari kehausan akan langkah dakwah yang teruji.
Semua modal sudah tersedia: semangat berkorban, tawakkal, dan tuntutan menjadi ideolog.
Sekarang, pertanyaannya tinggal satu: apakah kita semua hanya menjadi pengagum ideologi, atau menjadi tulang punggung yang menjadikannya kenyataan?
Jika iya, tugas kita adalah membangun sinergi dan kolaborasi internal untuk penguatan sinergi anak bangsa yang lebih luas. Ini butuh ide, musyawarah, mujahadah dan komitmen (azam) untuk selanjutnya kita kawal dengan tawakal.
Kita ingat tema Munas VI adalah “Sinergi Anak Bangsa Menyongsong Indonesia Emas 2045.*(Oleh: Mas Imam Nawawi)
- Penulis adalah alumni Santri Hidayatullah Kutai Kartanegara
Assalamualaikum..Aku ditinggal istriku 9bln lalu.aku sangat rindu sekali meskipun dalam mimpi. Dan 3 anakku .aku tanjakan apakah pernah mimpi ketemu…
Dakwah Hidayatullah di Papua terlalu eksklusif hanya menyasar pendatang sejak dulu. Indikatornya jelas, semua pondok pesantrennya tidak punya santri asli…
istri n anak kembali 01 02 2023.. ampuni sgla d0sa2 istri q ya Allah. n buat para laki2 yg ditinggal…
Hal yg sama saya rasakan pada istri yg telah meninggal hampir 2 tahun lalu, rindu ini sangat sering, terkadang tanpa…
kalau uda khatam arbainnya di halaqoh mestinya tdk terjadi yg sperti ini