Detik-detik Mendebarkan Seorang Muslimah Menghindari Jabat Tangan dengan Pria

[ILUSTRASI] Muslimah mengikuti wisuda.* [Foto: SKR/MCU]

Oleh: Mustabsyirah

WISUDA adalah momen yang sangat dinanti sekaligus mendebarkan bagi seluruh mahasiswa. Cuma rasanya detak debaranku ini berbeda “ketukannya” dengan ribuan wisudawan lainnya.

Pasalnya aku berdebar bukan sekadar karena sebagai  momen spesial usai menjalani perkuliahan. Tapi aku sedikit gugup, ya tepatnya aku gugup, karena menghindari sesi berjabat tangan nantinya.

Seperti biasa, setiap wisudawan diminta maju ke depan dalam prosesi pengukuhan. Selanjutnya mereka maju menerima ijazah dan pemindahan kuncir toga (dari kiri ke kanan) oleh pejabat dekan dan rektor.

Nah, di situ letak gugupku. Sebagai seorang Muslimah, aku ingin menjalankan ajaran agamaku, tak berjabat tangan dengan selain mahram saja.

Tiba giliranku, detak itu kian kuat menggedor. Bismillah, aku melangkah maju mendekati panggung. Aku hanya pasrah sambil terus merapal doa untuk menenangkan hatiku.

Bukan aku tak hormat kepada pejabat Dekan, apalagi Pak Rektor. Sungguh, aku sangat hormat kepada seluruh dosen, dan siapa saja yang telah menanam budi padaku.

Apalagi momen wisuda sangat bersejarah buatku. Aku selalu berdoa semoga bisa membalas jasa jariyah mereka.

Menjadi yang bermanfaat buat agama dan bangsa, seperti nasihat para dosenku di kelas selalu.

Kutarik napas dalam-dalam. Sekali lagi kupastikan pita merah dari panitia terpasang rapi di dada sebelah kiriku. Isyarat bahwa yang bersangkutan memilih tak berjabat tangan di panggung.

Alhamdulillah, senyum kebapakan dari Pak Dekan menyambutku. Kuterima ijazahku darinya, lalu kuapitkan ke lengan sebelah kiriku.

Kutundukkan wajahku dalam. Inilah tanda hormatku pengganti jabat tanganku. Aku melihat ia turut mengangguk. Masih dengan senyum yang sama.

Ah, tak terasa mataku membulir. Ada rasa sejuk di hati. Aku balas dengan senyum tulus. Meski mungkin tidak terlihat olehnya.

Kini kugeser kakiku selangkah ke kanan. Berdiri di depanku seorang bapak yang penuh karisma. Dialah Pak Rektor, sosok yang sangat dihormati dengan keteladanannya di lingkungan kampus.

Kutundukkan kepalaku mendekat. Inilah puncak dari gugupku sejak tadi. Tak terasa keringat dingin membasahi telapak tanganku.

Tangan itu sudah memindahkan kuncir toga di kepalaku. Kuberanikan mengangkat kepalaku sejenak. Memandang dengan penuh hormat, tentunya.

Tapi, tiba-tiba tangan itu terangkat ke atas. Ah, benarkah Pak Rektor ingin menyalamiku?

Rasa panik itu jadi hebat kembali. Tangan itu sudah setinggi dengan dadanya, lirikku.

Namun, ah rupanya yang teracung adalah jemari jempol.

Iya, sebuah jempol yang teracung untukku. Kuangkat wajahku sekali lagi.  Masya Allah, kulihat senyum itu mengembang di sana. Dengan sebuah jempol yang sepertinya khusus buatku.

Refleks aku bertakbir dan bertahmid dalam hati. Ucapan terima kasihku dibalas dengan senyuman. Dan ternyata jempol itu masih teracung untukku.

Alhamdulillah. Aku sudah turun dari panggung dan tak terjadi apa-apa padaku. Segala yang aku kuatirkan tak terjadi akhirnya.

Aku berhasil menjalani pengukuhan wisuda tanpa berjabat tangan. Bahkan aku merasa diberi apresiasi dari dekan dan rektorku.

Allahu Akbar, Engkau Maha Besar.  Engkaulah yang Maha membolakbalikkan hati.

Kini kupandangi hijabku lekat. Dengan setia hijabku ini sudah menemaniku selama 4 tahun lebih menuntut ilmu di perguruan tinggi.

Bagi seorang Muslimah, hijab bukanlah penghalang langkah. Dengan berhijab, aku justru merasa mendapat kemudahan dalam berbagai urusan.

Harapannya, semoga para Muslimah lainnya bisa istiqamah menggunakan hijab.

Kepada seluruh pihak dan lingkungan kampus, kami berharap adanya pengertian dan kerja sama yang baik.

Yakinlah, kami berhijab hanya karena menjalankan perintah agama. Kami Muslimah maka kami taat mengikuti perintah Allah.

Yakinlah, kami yang berhijab bukan untuk melanggar aturan. Kami para mahasiswi Muslimah tetap berusaha mengikuti tata tertib kampus dan norma yang berlaku.

Jangan ada diskriminasi buat kami para Muslimah. Apalagi jika hanya berdasar dugaan atau sangkaan semata.

Kami percaya generasi penerus yang diharapkan oleh bangsa bukan sekadar orang cerdas saja. Tapi mereka juga harus kaya adab dan taat beragama.

Kepada merekalah bangsa ini bisa maju berperadaban. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pejuang bangsa dulu yang lahir dari rahim para ulama dan tokoh Islam dahulu.* (Ummulqurahidayatullah.id/Hidayatullah.com)

Baca juga: Pesan Majelis Penasihat kepada Muslimah Hidayatullah: Semua Diniatkan untuk Membangun Peradaban Islam

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *