Sarasehan Perintis Hidayatullah di Batam, Ustadz Hasyim Ingatkan Pentingnya Menjaga Ketaatan

Salah seorang perintis Hidayatullah, Ustadz Hasyim HS. [Foto: Istimewa]

BATAM- Salah seorang Perintis Hidayatullah, Ustadz Hasyim HS, menyampaikan taushiyah bakda subuh dalam rangkaian acara sarasehan perintis Hidayatullah di Masjid Hidayatullah Kampus Batu Aji, Kota Batam, Kepulauan Riau, Ahad, 15 Dzulqa’dah 1442 H (27/06/2021).

Dalam taushiyahnya, Ustadz Hasyim, demikian dikenal, menyampaikan rasa syukurnya dapat berkunjung ke Hidayatullah Batam sekaligus menjalin silaturahim dengan para pengurus Hidayatullah dan jamaah setempat.

Setidaknya dua hal yang beliau tekankan, yaitu pentingnya ketaatan dan pengorbanan dalam ber-Hidayatullah, baik pada masa lalu, pada masa kini, hingga pada masa depan.

“Saya juga bersyukur bisa berada di Hidayatullah yang selalu mengajak kita untuk mengerahkan dan mengorbankan potensi dan daya yang ada pada diri masing-masing untuk kejayaan Islam,” ujarnya di depan para jamaah.

Lebih jauh, Ustadz Hasyim memaparkan, di antara bentuk pengorbanan santri dahulu adalah sekolah -formal- yang tidak berlanjut.

“Ustadz Abdullah Sa’id berkata “Mumpung masih muda maka berkorbanlah walau belum mengerti untuk apa pengorbanan itu. Mudah-mudahan pengorbanan kita bermanfaat untuk generasi masa datang”.”

Mengambil spirit perjuangan Hidayatullah pada masa awal-awal berdirinya di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Ustadz Hasyim mengungkapkan contoh ketaatan pada masa itu. “Dahulu, kita pejam mata saja. Disuruh kerja, kita kerja,” ujarnya.

Beliau pun menyinggung bahwa beberapa saat lalu, ada santri yang minta volume kerjanya dikurangi. “Padahal volume kerja saat ini sudah tidak sama dengan kerja bakti zaman dulu,” tegas Ustadz Hasyim.

Ia menambahkan bahwa kala itu, kita percaya dan kita hanya yakin dengan ketaatan itu, meski tidak tahu hadits-hadits tentang pengorbanan. “Banyak teman-teman yang ragu akan perjuangan Hidayatullah hingga akhirnya berhenti di tengah jalan, meninggalkan Hidayatullah. Kini ingin bergabung lagi untuk mendarmabaktikan tenaganya di jalan Allah,” ungkapnya.

Ia pun mengingatkan bahwa jamaah dan pengurus Hidayatulah harus senantiasa berkorban. Mengorbankan segalanya. Ustadz Abdullah Sa’id berkata, “Tidak ada minta izin dalam pengorbanan itu. Tidak ada pulang kampung”. Maka ketika Ustadz Hasan Ibrahim minta izin saat orang tuanya meninggal, beliau dimarahi, tuturnya.

Menurut Ustadz Hasyim, saat ini pekerjaan itu sudah lebih mudah dibanding dulu karena fasilitasnya lebih memadai. Dahulu, tuturnya, Ustadz Syamsu Rijal Palu –kini anggota Dewan Pembina Hidayatullah UmmulQura Gunung Tembak- pernah ditugaskan membuat susu untuk peserta kerja bakti. “Tapi sepertinya susu yang dibuatnya itu sekadar keruh saja. Jangan ditanya rasanya,” tuturnya mencontohkan secuil kisah para kader Hidayatullah dahulu.

Ustadz Hasyim melanjutkan taushiyahnya. Beliau mengatakan bahwa ilmu jangan hanya lari ke otak, tapi harus ada juga yang lari ke jiwa. “Maka santri-santri harus mendengarkan mengapa santri-santri awal atau warga itu mau masuk ke Hidayatullah. Sehingga, harus ada hari khusus dimana santri-santri mendengar itu,” ujarnya seraya memberikan saran.

Menariknya, Ustadz yang juga Ketua Dewan Pembina Hidayatullah UmmulQura Gunung Tembak ini merasa rugi kalau tidak bisa ikut kerja bakti bersama warga dan santri. Seperti diketahui, di Hidayatullah Gunung Tembak, kerja bakti merupakan salah satu kultur yang telah terjaga hingga saat ini.

“Saya merasa rugi jika ada kerja bakti lalu saya tidak turun kerja. Ustadz Abdullah Sa’id juga turun langsung. Kita bersama-sama beliau merintis rumput,” tuturnya mengenang perjuangan di masa lampau bersama sang Pendiri Hidayatullah tersebut.

Ustadz Hasyim lantas berharap berharap agar kelak lahir generasi-generasi yang seperti Ustadz Abdullah Sa’id. “Tidak usah persis dengan beliau karena itu susah. Namun setidaknya bisa memberi dorongan dan motivasi. Kalau memarahi santri, santrinya tidak merasa dimarahi,” ujarnya.

Sebagai muhasabah, Ustadz Hasyim tak lupa sedikit menyampaikan dinamika dalam kehidupan berlembaga di Hidayatullah pada masa kini.

“Saat ini, kalau ada yang mau ditugaskan harus ditanya dulu mau ditugaskan ke mana. Ada tawar menawar. Kalau dulu, tidak ada tawar menawar. Tidak ada survei. Pokoknya langsung datang ke tempat tugas,” ujarnya.

Ketaatan itulah, kata dia, kelebihan-kelebihan Hidayatullah dahulu yang harus disempurnakan -setidaknya- dengan sikap mental yang sama.

“”Ilaahi anta maqsuudii wa ridhaaka mathluubii…” Dahulu kalimat ini sering terdengar, menjadikan ridha Allah sebagai tujuan,” ujarnya.

Beliau mengatakan bahwa selalu ada jalan keluar dalam suatu permasalahan walau tidak terbayangkan sebelumnya. “Dahulu, tidak terpikir punya rumah, kendaraan, dan lain-lain. Kita hanya fokus pada apa yang diperintahkan.”

Beliau pun berpesan bahwa modal ketaatan dan kesabaran, serta menjaga komunikasi dengan Sang Pencipta alam semesta adalah modal santri Hidayatullah untuk sukses.

“Berpikir keras, bekerja keras, beribadah keras adalah gambaran bahwa almarhum punya obsesi masa depan yang luar biasa,” kata Ustadz Hasyim.

Kini, menatap masa depan Hidayatullah, Ustadz Hasyim menekankan bahwa era selanjutnya adalah tugas generasi muda dalam melanjutkan perjuangan Hidayatullah lewat visinya Membangun Peradaban Islam. “Kita hanya mendoakan meski semangat tidak kalah dengan yang muda meski menyadari kondisi diri yang tidak lagi muda,” pesan Ustadz Hasyim.* (Naspi Arsyad/Media Center UmmulQura Hidayatullah Gunung Tembak)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *