Revolusi Shalat

Oleh Mujahid M. Salbu

PENGERAS suara di sudut masjid bagian atas bergetar. Sore yang sejuk, sejumlah santri bermain sepak bola di lapangan, yang lain berenang di danau penuh ikan dan siluet senja.

Dari pengeras suara, terdengar lantang pemberitahuan bahwa waktu sholat magrib kurang setengah jam lagi. Kepada warga dan santri diharap menghentikan seluruh aktivitas.

Bola berhenti menggelinding, kaki-kaki beranjak meninggalkan lapangan, rumput dan danau menjadi saksi langkah-langkah yang tak rela di dahului cahaya rembulan memasuki pintu-pintu masjid. Seluruh warga dan santri kembali ke rumah dan asrama. Bersiap menyongsong panggilan mulia Allah Ta’ala.

Demikian pemandangan yang lekat dalam pikiran, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa saja yang pernah mengenyam kehidupan di pondok pesantren Hidayatullah Balikpapan dan di kampus lainnya di seluruh Indonesia. Di kampus itu, waktu-waktu sholat menjelma even kolosal penuh kegembiraan.

Sebuah ikhtiar membangun kesadaran yang bukan sebatas ritual, namun, upaya membangun sikap mental bahwa shalat merupakan momentum krusial. Shalat adalah bagian penting proses menuju kemenangan dan kebangkitan individu maupun jamaah kaum muslimin. Sholat adalah revolusi Islam yang konstitusional.

Di dalam masjid yang sejuk karena pilar-pilar dinding yang terbuka, suasana khidmat menembus jiwa, suara yang terdengar adalah riuh lantunan ayat-ayat suci dari jamaah yang sedang menunggu isyarat iqamat.

Rangkaian sholat kemudian dimulai, suasana tumakninah terasa pada setiap gerakan, rukuk dan sujud tidak terlalu ringan tetapi juga tidak terlalu memberatkan jamaah. Cinta pada ibadah menuntun setiap gerakan. Setelahnya, ada halaqah, majelis ilmu dan konsolidasi ideologi.

Prof. Dr. Ziaul Haque dalam bukunya Revolusi Islam (2000) menulis, shalat adalah permohonan tentang kebenaran dan ide-ide egaliter, kasih sayang, persaudaraan, dan solidaritas. Shalat adalah sumbu segala sesuatu yang bergerak; ia meruapakan peringatan tentang ide-ide natural, supra-natural dan ketuhanan.

Shalat juga berarti koneksi jiwa dan hati kepada sumber kekuatan energi. Dalam konteks sosial al Quran, shalat berarti sistem atau perilaku dari ide-ide moral yang berhubungan secara langsung dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai kebenaran, egalitas sosial, keadilan, kasih sayang dan tanggungjawab sosial.

Di dalamnya juga berarti panggilan dari kekuatan transendental sebagai bantuan dan bimbingan melawan kekuatan korupsi, tirani, ketimpangan, apatisme, kegelapan dan takhayul. Shalat merupakan inti perjuangan dan esensi ketekunan, kesabaran, dan kebajikan dalam gerakan melawan kebatilan. (Al Baqarah: 153-157)

Cikal bakal kebangkitan ormas Hidayatullah di mulai dari revolusi sholat. Bukan hanya pada shalat fardhu tetapi juga sunnah seperti shalat malam yang melekat sebagai spesifik character.

Lambung mereka jauh dari tempat tidur. Malamnya bagai sufi siang bagai singa. Energi spiritual dari kesunyian malam, merambat melalui rukuk dan sujud, melalui munajat penuh kepasrahan.

Jika hari ini ummat Islam belum mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara; secara politik sejak pemilu pertana di tahun 1955 hingga pemilu terakhir 2019, belum ada partai Islam yang berhasil memenangkan pemilu.

Secara moral, pelaku tindak pidana korupsi tidak sedikit dari berasal dari partai Islam atau tokoh Islam. Sementara kelompok Islam di akar bawah juga tidak cukup masif membangun kekuatan yang solid.

Bisa jadi karena sejarah panjang kolonialisme yang berkolaborasi dengan feodalisme memberi andil besar sulitnya ummat Islam bangkit sebagai kekuatan moral dan sosial serta politik.

Masjid sebagai basis gerakan dan shalat sebagai sumber kekuatan telah terkooptasi oleh pengaruh kolonialisme dan feodalisme yang mengkondisikan masjid hanya sebatas wadah aktivitas ibadah, sementara shalat dipersepsikan sebatas ritus legal yang lepas dari tanggungjawab moral dan sosial. Hipotesa ini masih harus diuji lebih lanjut.

Sejatinya pengaruh shalat sangat dahsyat jika merujuk pada sejarah kebangkitan Islam di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat pertama kali hijrah ke Madinah yang pertama dibangun adalah masjid kemudian pasar. Dari masjid gerakan moral dan sosial dimulai dengan misi utama kesetaraan yang menjadi musuh utama feodalisme.

Faktor utama kemajuan ormas Hidayatullah yang impresif karena secara internal mampu mengembalikan fungsi masjid dan shalat sebagai pilar utama membangun peradaban Islam di lingkungan kampus-kampus Hidayatullah di seluruh Indonesia.

Masjid tidak semata dimanfaatkan untuk aktivitas ibadah tetapi juga basis gerakan moral dan sosial. Shalat tidak hanya tentang rukuk dan sujud, namun, sebagai medium meraih kekuatan dan energi perjuangan.

Ada beberapa masjid lain di Indonesia yang berhasil memfungsikan masjid sebagai agen perubahan dan shalat sebagai revolusi mental. Diantaranya masjid Jogokariyan di Jogjakarta yang juga berfungsi sebagai Islamic Centre, dengan berbagai kegiatan pelayanan kepada jamaah, setidaknya ada 28 divisi kegiatan diantaranya biro Klinik dan Komite Aksi untuk Ummat. Namun, masjid seperti ini belum signifikan jumlahnya.

Relasi masjid dan sholat yang fungsional dan produktif dengan kehidupan berbangsa merupakan keniscayaan agar ummat Islam dapat memberi sibghah dan warna di tengah masyarakat.

Selama shalat masih sebatas ritus legal yang dengan itu sudah cukup menggambarkan keberimanan seseorang maka ummat Islam akan terus menjadi warga kelas dua, hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan syahwat kekuasaan kelompok tertentu.

Revolusi shalat adalah upaya mencegah kelompok-kelompok yang ingin mencuri cita-cita besar ummat Islam yaitu menegakkan peradaban Islam yang mulia.

*) Mujahid M. Salbu, penulis adalah wartawan senior. Saat ini mengabdi di Batam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *