Kisah Abah Zain, Siap Berkhidmat Apa Saja Buat al-Qur’an

Ustadz Zainuddin Musaddad, Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah (tengah) pada acara “Haflah Pemberian Sanad al-Qur’an” yang digelar di Aula Prasmanan, Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Balikpapan, 27 Rabi’ul Akhir 1445 (11/11/2023).* [Foto: LPPH/MCU]

Ummulqurahidayatullah.id– Air mata Ustadz Zainuddin Musaddad, Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah, tak terbendung.

Ia tengah berdiri menyampaikan sambutan dalam acara “Haflah Pemberian Sanad al-Qur’an” yang digelar di Aula Prasmanan, Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Balikpapan, 27 Rabi’ul Akhir 1445 lalu.

Abah Zain, panggilan akrabnya, tak mampu menahan keharuannya. Hal itu tampak saat pendiri Rumah Qur’an Ahlul Jannah Balikpapan ini memberi sepatah kata sebagai orangtua dari tiga guru peraih sanad hafalan al-Qur’an tersebut.

Tiga guru istimewa tersebut tak lain adalah Ustadzah Athifah Musaddad, Ustadzah Dhiyaan Musaddad, dan Ustadzah Erika Ummu Aiman.

Mereka adalah pengajar al-Qur’an di lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan. Tepatnya di Sekolah Menengah Hidayatullah (SMH) Program Tahfizh Usrah Mujaddidah.

“Alhamdulillah, ummi yang Abah cintai, ustadzuna para sahabat kami, ibu pembimbing, dan semua yang hadir yang menjadi saksi syiar Allah pada hari ini,” ucap Abah Zain dengan suara menahan haru hari itu (11/11/2023).

Dalam sambutan, Abah Zain menegaskan bahwa tidak ada sedikitpun nama “Musaddad” yang ingin dipajang.

“Inilah syiar Allah, syiar Rasulullah, syiar sahabat dan para ulama yang tidak pernah jauh dari al-Qur’an,” lanjutnya masih dengan keharuan yang sama.

Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan periode 2012-2017 itu pun menguatkan posisi Kampus Induk Hidayatullah atau yang dikenal dengan Hidayatullah Ummul Qura.

“Gunung Tembak harus jadi syiar. Tidak ada jengkal tanah kecuali jadi saksi bahwa di tempat ini hidup wahyu Allah,” terangnya.

“Secara kelembagaan kita tidak mau lagi ada penghafal al-Qur’an di Gunung Tembak tapi tidak ada sanadnya. Semoga hari ini adalah satu dari jawaban itu,” tambahnya.

Selanjutnya, suami dari ustadzah Sulmiati Shaleh itu menceritakan perjuangan keduanya dalam mengantar anak-anaknya menjadi penghafal al-Qur’an.

“Sejak tamat SD, pikiran saya dan umminya, tidak apa-apa mereka (anak-anak) tidak jadi sarjana. Bukan anti sarjana dan gelar formal, tapi sejak awal, ‘Bismillah!’,” sebut pria jebolan Fakultas MIPA Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujung Pandang tahun 1991 itu.

Baca juga: Haflah Pemberian Sanad Al-Qur’an, “Hadiah” bagi Panitia-Peserta Silatnas Hidayatullah

Dalam pandangan Abah Zain, jangan ada yang mendahului mengenal ilmu yang lain kecuali al-Qur’an mendahuluinya. Meski diakui hal itu tidak mudah juga menjalaninya.

“Kadang terganggu pikiran kepingin sekolahkan (anak-anak) ke sini dan ke sini. Tapi selalu ada dorongan insyaAllah kalau dia penghafal al-Qur’an, itu cukup dibanggakan,” ungkapnya.

Ia pun berbagi pengalaman dan kesaksian kepada hadirin dan undangan acara haflah.

Menurutnya, orang tua harus berperan aktif dalam urusan pendidikan dan menuntut ilmu bagi anak-anaknya. Secara khusus lagi bagi anak perempuan.

“Saya tidak pernah menitipkan kepada orang lain untuk berangkat sendiri. Ada uang tidak ada uang. Ayo, Bismillah, Abah yang antar. Mau pulang, saya tidak mau titipkan apalagi jalan sendiri, nanti Abah yang jemput,” ungkapnya juga.

Hal ini penting sebagai bentuk perhatian. Minimal inilah sedikit kontribusi kita sebagai orang tua buat al-Qur’an. “Saya siap jadi apa-apanya buat mereka. Berkhidmat apa saja buat al-Qur’an,” pungkas ustadz yang juga Pembina di Ma’had Tahfizh al-Qur’an Ahlus Shuffah Gunung Binjai, Balikpapan ini.* (Abu Jaulah/Media Silatnas Hidayatullah/MCU)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *