Berat Sama Didorong, Kisah Taksi di Siang Bolong

Santri dan warga mendorong mobil angkot di Gunung Tembak, Balikpapan, Selasa, 17 Rajab 1442 Hijriyah (02/03/2021). [Foto: Muh. Abdus Syakur/Media Center UmmulQura Hidayatullah]

GUNUNG TEMBAK- Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pepatah ini mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang terjadi siang bolong itu di salah satu sudut kampus Hidayatullah Ummul Qura, Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Hari itu, sepulang shalat zuhur di masjid, rencananya saya hendak pergi menjemput keluarga di areal Kampus Tarbiyah Ummul Qura. “Sambil cari-cari momen berita,” batinku. Cuaca cerah, langit membiru, semoga dapat foto menarik.

Dalam perjalanan dengan sepeda motor, saya menjumpai salah seorang Bapak warga yang berjalan kaki pulang dari masjid. Memang, di Masjid Ar-Riyadh Gunung Tembak, shalat berjamaah sudah dilaksanakan tapi dengan protokol kesehatan karena pandemi masih berlangsung.

Kami yang berboncengan pun menyusuri jalan di pinggir empang besar, sebutan untuk danau utama di kampus ini. Ini jalan pintas menuju rumah Bapak warga tadi.

“Lewat sini sudah bisa ya, Pak?” tanya saya pada Bapak warga itu yang hari-hari memang lewat sini.

Jalanan ini masih tanah berbatu, sebagian dalam proses pemadatan sehingga kontur tanah masih labil. Beberapa hari lalu saya lewat sini, tanahnya masih pada becek karena habis hujan. Kali ini sudah pada kering. Namun masih ada sedikit kubangan yang bisa menjebak. Dan Pak Jarwo tidak tahu menahu tentang itu.

Siapa Jarwo? Pria ini adalah supir taksi -sebutan untuk angkutan kota (angkot) di Balikpapan- nomor 7 yang biasa dipanggil warga pesantren untuk penjemputan dan pengantaran, mirip-mirip Gcar atau G**car lah, tapi angkot ini dipanggil tanpa aplikasi. Cukup via telepon atau pesan WhatsApp. Biasanya begitu, karena memang sudah langganan.

Jarwo mengemudikan taksinya melewati jalan tanah di pinggir empang. Dan qadarallah, mobilnya amblas pada salah satu ruas jalan yang berkubang. Melihat itu, kami pun segera berhenti dan turun dari sepeda motor untuk membantu pak supir.

“Saya tadi lihat kering jalan itu, ternyata basah (dalamnya),” tutur Jarwo yang sedang sendirian. Saya tahu namanya dari warga yang lain.

“Sudah setahun saya enda lewat sini,” katanya juga.

Ooohhh!

Setelah dianalisa secara singkat, mobil Pak Jarwo harus didorong atau ditarik. Namun bisa dipastikan bahwa tenaga yang ada belum cukup kuat. Suasana di sekitar lagi sepi. Selasa, 17 Rajab 1442 Hijriyah bertepatan (02/03/2021) itu para penghuni kampus sedang pada sibuk dengan kegiatan rutin masing-masing; para santri sekolah, para warga bekerja baik di kantor maupun di lapangan tugas. Cukup jauh dari titik kejadian yang menimpa Pak Jarwo.

Sebenarnya mobil taksi ini tergolong “ringan”. Ditaksir, cuma butuh tambahan 2-3 tenaga manusia sudah cukup untuk mendorongnya. Sehingga, tak perlu rasanya menerjunkan satu “kompi” warga untuk menuntaskan masalah ini.

Problemnya, nyaris tak terlihat satu-dua warga dan santri yang sedang melintas di dekat kami. Di saat begitu, kami berharap Allah segera mendatangkan bantuan-Nya.

Tepat! Tak beberapa lama, berjarak hampir 100 meter, melintas salah seorang warga yang tampaknya baru pulang dari masjid. Tapi dia terus saja. Eh, setelah menengok ke arah taksi tadi, bapak warga itu memutar balik dan melajukan roda duanya ke arah kami berada. Ternyata beliau adalah Pak Ali Genda, demikian dikenal. Alhamdulillah!

Tanpa basa basi, beliau langsung memberikan bantuan ide dan tenaga. Cuma, mungkin karena kami belum pada makan siang sehingga tenaga belum keluar secara maksimal, mobil tadi tak kunjung berhasil dievakuasi dari kubangan yang sebenarnya tidak begitu dalam.

Sementara Pak Jarwo masih tak tinggal diam. Wajahnya tampak tenang. Tak terlihat ada kecemasan. Mungkin dia sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini. “Dibantu atau tidak dibantu, saya harus tetap berusaha agar mobil ini segera keluar dari jebakan lubang berlumpur ini!” Begitu mungkin dalam benaknya. Yah, demikian salah satu spirit yang saya tangkap dari beliau. Di balik kemudi taksinya itu, ada harapan besar baginya untuk mendapatkan lembar demi lembar nafkah, demi menghidupi keluarganya.

Berbagai upaya pun dia lakukan. Mulai dari menumpuk kayu di balik ban-ban mobil yang amblas, sampai mendongkrak mobil dengan alat pendongkrak.

Kami tentu tak ridha membiarkannya berjibaku sendirian. Meskipun saya pribadi tak mengenalnya, tapi kewajiban kami untuk membantunya. Yah! Kita coba sekali lagi, Bismillah, Allahu Akbar!!!
Kami dorong dari depan, dari samping, dari belakang, masih tak berhasil.

Pak Ali memutar otak. “Coba saya cari mobil dulu untuk narik,” ujarnya seraya pergi entah ke mana.

Tak lama kemudian, dia kembali dengan membonceng dua orang santri putra. “Ini ada bantuan tapi cuma dua,” ujarnya. Gak apa-apa, insya Allah sudah cukup.

Tanpa perlu dianalisa lagi, aksi selanjutnya bisa ditebak. Pak Jarwo segera duduk di balik setir, menyalakan mesin, memasang perseneling untuk mundur, lalu sejumlah warga dan santri tadi pun bersiap di depan mobil.

Setelah saling memberi komando, Bismillah! Allahu Akbar! “Brum, brumm, bruummm!” Akhirnya angkot Carry ini pun berhasil didorong mundur dan keluar dari kubangan lumpur yang menjebaknya.
Alhamdulillah!

Kami semua senang, termasuk sejumlah warga calon penumpang taksi dari asrama putri yang sedari tadi menunggu. “Kita bantu dengan doa,” ujar Muslimah berjilbab yang tampaknya pemesan angkot hijau putih tersebut. “Doanya makbul, Bu,” batinku.

Pak Jarwo pun berangkat mengantarkan para penumpangnya setelah menyampaikan apresiasinya terhadap warga Hidayatullah Ummul Qura yang bersedia membantunya siang itu.

“Terima kasih, Ustadz,” ujarnya dengan suara yang terdengar penuh ketulusan.

“Sama-sama, Pak! Hati-hati di jalan!”. Malang dapat ditolak, untung dapat diraih, insya Allah. Batinku memplesetkan pepatah di atas.* Teks dan foto: Muh. Abdus Syakur/Media Center Hidayatullah Ummul Qura

#Lensa Gutem, Balikpapan

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *