Menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018.
-bagian1
Dalam sejarah panjang perjalanan Hidayatullah, bulan Muharram menjadi salah satu momentum yg sangat penting, khususnya pada masa Allahu Yarham Ust. Abdullah Said, karena saat itu para kader yg bertugas di seluruh penjuru tanah air, kembali berkumpul di markas pusat kampus Gn. Tembak (Balikpapan Kalimantan Timur).
Silaturahim tahunan bagi para kader, sejatinya adalah kegiatan yg multi fungsi, diantaranya evaluasi kinerja setahun yg lalu dan penyusunan program setahun ke depan.
Banyak orang (termasuk saya) yg penasaran, mengapa momentum Muharram menjadi media untuk kegiatan strategis tersebut. Namun, saat menyimak ulasan Allahu Yarham tentang sejarah plus hikmah yg dikandung, betapa Muharram dgn peristiwa hijrah Rasulullah bersama sahabat, mengandung pelajaran sangat berharga, bagi siapa saja yg ingin menikmati ajaran Islam, bukan sebatas indah dalam cerita, alias menarik pada tataran teori dan retorika, serta berhenti pada kenangan yg _nostalgic_ semata.
Dari pemaparan Allahu Yarham yg panjang lebar, maka kami para kader berkesimpulan, wajar bila momentum ini yg jadi patokan hitungan pertama thn Islam, dengan konsekwensi logis (mungkin terkesan sangat ekstrim), sahnya keislaman seseorang, mutlak ditandai dgn kesiapan berhijrah. Tanpa hijrah, jangan pernah bermimpi untuk menjadi muslim sejati.
Terkait dgn peristiwa hijrah, ada beberapa poin menarik yg mutlak digaris bawahi…
1. NIAT
Dalam kitab Hadits Arbain karya Imam Nawawi, dari sekian banyak sabda Rasulullah yg beliau kumpulkan, hadits tentang niat yg menempati urutan pertama, dan kemudian para ulama sependapat, bahwa inilah persoalan yg paling utama, dari setiap aktifitas yg dilakoni oleh ummat Muhammad. Dia menjadi penentu awal, diterima atau tertolaknya sebuah amalan.
Boleh jadi kita mengerjakan sebuah aktifitas yg persis sama dgn yg dilakukan org pada umumnya, tapi hasil yg diperoleh berbeda bahkan terbalik 180 derajat, di mana faktor penyebabnya adalah NIAT.
Bila merujuk pada konteks hadits, apa lagi pada _asbabul wurudnya,_ terbukti… betapa niat org meninggalkan Makkah menuju Madinah ketika itu, tdk semata karena dorongan iman, tapi ada yg karena motivasi duniawi dan secara khusus karena ingin menikah dgn seseorg yg sdh hijrah lebih dahulu.
Maka pada poin ini, dibutuhkan jiwa besar dan kejujuran kita bersama, untuk menjawab pertanyaan yg paling mendasar…
APA SESUNGGUHNYA YG MEMOTIVIR KITA BERGABUNG DI LEMBAGA PERJUANGAN INI DAN APA YG MENJADI ASBAB KITA MASIH BERTAHAN HINGGA SAAT INI…?!?!?!
-bagian2
Di hadapan setiap orang, kita bisa saja bersilat lidah dan beradu retorika, guna meyakinkan siapapun juga, bahkan dibuktikan dgn aksi dan sepak terjang kita sekian lama, hingga tak ada secuilpun bibit keraguan yg muncul di benak mereka, kalau keberadaan kita di lembaga ini, benar-benar sebagai pejuang sejati. Namun…. Jangan pernah bermimpi, bila Allah S.W.T. yg maha melihat, dapat pula kita kelabui.
Pada paragraf di atas, boleh jadi terkesan masing-masing kita menjadi tertuduh alias korban fitnah, namun hakekatnya, meminjam istilah UAS, saya tdk menyebut nama ataupun partai, sehingga tdk ada orang yg boleh merasa jadi sasaran bidikan pada kesimpulan di atas.
Rangkaian kalimat tersebut, dimaksudkan sebagai peringatan kepada kita semua tak terkecuali diri saya tentunya, mengingat strategisnya posisi niat yg mendasari setiap gerak yg kita lakoni. Melencengnya niat, bukan hanya berujung pada kesia-sia an, namun berakibat sangat fatal.
Bila pada 14 abad yg silam, orang-orang berada dalam bimbingan instruktur handal dan _murabbi_ nomor _wahid,_ masih ada saja yg niatnya melenceng, lantas siapa yg bisa menggaransi, kalau niat kita semua, murni adanya.
Jika kita meneropong para pendiri, perintis dan santri-santri awal di lembaga ini, niscaya kita akan kesulitan menemukan tendensi lain, saat mereka ikut serta berjibaku menapaki perjalanan lembaga ini pada masa-masa awal. Sebab kita sama mengetahui, bagaimana kondisi riil lembaga ini ketika itu.
Di masa perintisan, tak ada ruang untuk tampil unjuk kebolehan kemudian menjadi “selebritis” alias jadi orang terhormat, sebab yg ada… justru dianggap sebagai kumpulan orang-orang gila yg patut diwaspadai, minimal dikasihani.
Saat itu, tak ada kesempatan berfikir untuk menumpuk harta, sebab sekedar buat makan saja sdh susah. Pakaian yg dimiliki hanya dua macam, satu untuk ibadah dan satunya lagi buat kerja di lapangan.
Kala itu, jangankan berharap “surat berharga”, bahkan para sarjana merobek-robek ijazahnya, sehingga tertutup peluang menjadikan lembaga sebagai batu loncatan tuk mendaftar pegawai negeri atau karyawan perusahaan, apatah lagi untuk ikut-ikutan berkompetisi memperebutkan kursi di legislatif atau eksekutif, bahkan sebatas jadi team sukses sekalipun, tak ada kandidat yg mau melirik. Anehnya, justru yg sdh terangkat malah menanggalkan statusnya, walau dgn resiko tanpa pesangon, apa lagi berlanjutnya tunjangan bulanan.
Dan masih 1001 macam bukti yg bisa kita paparkan, betapa heroiknya para pejuang ketika itu, hingga nyaris mustahil ada interes lain yg melatari sepak terjang mereka.
Semua pihak yg paham apa lagi sampai mengikuti perjalanan Hidayatullah dari waktu ke waktu, niscaya berkesimpulan sama, bahwa IKHLASNYA NIAT para _Assabiqunal Awwalun,_ yg memjadi modal paling mahal di lembaga ini sesungguhnya, dan itulah yg memicu kemajuan / perkembangan yg sangat pesat bahkan spektakuler.
Pertanyaannya kemudian…
Setelah realitas yg kita saksikan dan rasakan seperti saat ini, masihkan KEMURNIAN NIAT (semata untuk tegaknya agama Allah) itu terjaga, dan bagaimana pula dgn NIATNYA generasi yg baru lahir atau ikut berkiprah belakangan….?!?!?!
-bagian 3
Pada dasarnya setiap orang memahami dan juga menyadari, kalau urusan NIAT itu letaknya di hati. Maka pernyataan lewat lisan dan juga tulisan, tak cukup dijadikan landasan untuk kita menarik kesimpulan, atas niat yg mendasari seseorang melakukan atau tdk melakukan sebuah tindakan.
Dalamnya laut dapat diukur, hati orang siapa yg tau. Pepatah ini memberikan penegasan, betapa mustahilnya melacak keaslian niat seseorang, karenanya…adalah sebuah kebodohan, bila ada orang yg waktunya tersita, hanya untuk mengetahui isi hati seseorang, dibalik setiap aksi yg dilakoninya.
Maka salah satu pesan inti yg ingin ditekankan pada pembahasan soal NIAT ini, adalah merangsang diri kita masing-masing, untuk selalu sibuk melakukan evaluasi & introspeksi, gerangan apa yg menggiring kita masuk dan ikut berkiprah di lembaga ini, serta mengapa kita tetap bertahan hingga saat ini, dan apakah semua tindak tanduk kita sekian lama, senantiasa sejalan seiring dgn niat itu.
Menarik untuk menjadi renungan, apa yg diungkapkan oleh Syekh Sufyan Ats tsauri :
ماعالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب علي
Secara bebas dapat diartikan seperti ini: Bagi saya, tidak ada sesuatu yg melebihi beratnya menjaga niat, sebab dia adalah pekerjaan yg tak berkesudahan dan tanpa jeda.
Ungkapan Syekh di atas, adalah _warning_ yg sangat keras sesungguhnya, bahwa sewaktu-waktu kita lengah, maka niat kita pasti berubah, dan bisa saja melenceng jauh, apa lagi yg memang sejak awal, niatnya patut dipertanyakan.
Nafsu yg bercokol di dalam hati, yg sejak penciptaannya sdh ditakdirkan memiliki potensi _fujur,_ ditambah Iblis dgn semua konco-konconya, yg dalam kamus hidupnya tak mengenal kata lelah dan istirahat, setiap saat mengintai dan menanti peluang, agar dia menemukan celah guna menggerus kemurnian niat yg kita miliki.
Sungguh…
Disinilah urgensinya dan letak strategisnya, acara silaturahim Muharram pada masa Allahu Yarham, di mana fokus utamanya, bagaimana agar niat para kader tetap terjaga (tanpa menafikan target-target lain yg tdk kurang pentingnya), sesuai dgn apa yg menjadi tujuan lembaga sejak awal, yakni sebagai wadah perjuangan, demi tegak dan terlaksananya nilai-nilai Islam, sehingga keindahan dan keunggulannya, benar-benar nyata, bisa dilihat dan dinikmati oleh sebanyak mungkin orang.
Dalam berbagai kesempatan beliau seringkali mengulang-ulang, kalau lembaga ini adalah lembaga perjuangan, marilah kita berkiprah di dalamnya sebagai pejuang, sama sekali tdk ada niatan untuk kaya, apa lagi untuk ikut-ikutan berkuasa, kami hanya ingin, bagaimana agar AGAMA INI TEGAK, AGAMA DOMINAN DALAM KEHIDUPAN KESEHARIAN KITA, sebab di samping itu adalah tugas, kitapun meyakini, inilah jalan satu-satunya untuk kita menikmati kebahagiaan hidup di dunia, dan selamat kelak di kehidupan akhirat.
Pernyataan beliau pada paragraf di atas, bukan berarti kita dilarang alias tdk boleh kaya, melainkan sebuah peringatan yg tersirat, jangan sampai kaya justru menjadi tujuan, hingga menghalalkan segala cara guna mencapainya, yg akan berdampak pada kaburnya cita-cita awal. Naaudzu Billah, kalau ada kader yg sampai “memperalat” lembaga dgn segala bentuk kamuflasenya, demi meraih keuntungan materi, dengan segala trik dan tipu daya.
Besar harapan kita tentunya, semoga silatnas kali ini, yg waktunya semakin dekat, dapat berfungsi sama, menjadi media tuk meluruskan dan memperkokoh niat, yg ditandai dgn makin kuatnya ukhuwah di antara kita.
Karenanya… diperlukan kepekaan dan sensitifitas tinggi, agar jangan ada ulah dan perilaku kita, yg justru menciderai cita-cita luhur dari acara kita kali ini. Baik dilakukan dgn sengaja dan terang-terangan, ataupun hanya efek dari sikap kita yg cenderung mati rasa.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke IV
Salah satu hadits yg paling “mengerikan” terkait bahayanya bila NIAT kita melenceng, adalah hadits yg diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905) tentang 3 klp manusia yg pertama kali dimasukkan ke neraka jahannam, bahkan diseret dalam keadaan tertelungkup.
- Mujahid yg gugur di medan Jihad, namun niatnya untuk diakui sebagai pahlawan dan pemberani.
- Penuntut ilmu lagi pandai / fasih baca quran (suara merdu, makhraj dan tajwidnya di atas standar). Tujuannya agar dikenal sebagai ilmuan, cerdas lagi berwawasan plus qari kenamaan yg hapalannya sangat lancar.
- Seorang kaya raya yg gemar berinfaq. Dgn maksud mendapatkan pengakuan sebagai orang yg dermawan.
Peringatan Rasullah di atas, hakekatnya sdh lebih dari cukup untuk kita semua benar-benar mawas diri, agar kemurnian niat tetap terjaga.
Menyadari realitas tersebut, makin terasa urgensinya hidup berjamaah, sebagaimana yg kita rasakan di lembaga ini. Sebab secara otomatis, akan lebih mudah untuk kita saling mengingatkan, bila mulai ada gejala, apa lagi jika indikasinya makin mencurigakan. Dan forum *Silaturahim Nasional* seharusnya menjadi media untuk itu.
Meskipun pada surah Alhujurat ayat 12, Allah melarang kita berburuk sangka (sebab itu adalah dosa), dan jangan pula mencari-cari kesalahan orang lain, serta jangan menggunjing saudaramu sendiri. Akan tetapi, kesemuanya tdk berlaku umum, sebagaimana yg Allah nyatakan secara eksplisit pada ayatNya, bahwa yg dilarang itu adalah kebanyakan, dan bersangka buruk yg berakibat dosa hanyalah sebahagian (tidak seluruhnya).
Hal tersebut memberi isyarat, bahwa ada saja “toleransi” untuk melakukan hal itu, apa lagi jika perilaku orang tersebut benar-benar di luar kewajaran. Maka dalam konteks ini, jangan dibiasakan berperilaku yg memaksa orang untuk berburuk sangka.
Karenanya… di samping ada hadits yg menggambarkan keikhlasan seseorang dalam memberi, hingga tangan kirinya sekalipun tdk ikut mengetahui, namun untuk orang yg benar-benar berkecukupan, diharapkan dalam situasi tertentu, menampakkan pemberiannya, guna menjadi motivasi bagi orang lain, agar melakukan hal yg serupa, dan yg tidak kurang pentingnya, untuk menghindari tudingan kalau dia adalah orang kikir yg tak tau berbagi.
Begitu pula anjuran untuk memberitakan / mengundang kerabat, kawan dan tetangga saat acara pernikahan, di satu sisi sebagai refleksi kesyukuran dan pada sisi yg lain menginformasikan kalau kedua mempelai telah sah berstatus suami istri, hingga jika kepergok saat berduaan, orang tak lagi menuding macam-macam.
Ke dua contoh kasus di atas, seharusnya menginspirasi kita semua, agar tidak melakukan hal-hal yg menimbulkan kecurigaan, misalnya… Saat kita memiliki tambahan fasilitas, dgn harga jauh diatas penghasilan yg diketahui orang pada umumnya, maka sepatutnya ada penjelasan rasional tentang sumbernya, agar tidak memaksa saudara-saudara kita berburuk sangka yg menimbulkan dosa, dan berlanjut sampai menjadikannya bahan gunjingan yg sangat lezat untuk dinikmati.
Termasuk bila kita menerima pemberian orang lain, sepatutnya ada saksi atau bukti kuat yg meyakinkan, agar tdk bercampur aduk, mana pemberian untuk pribadi, dan mana yg ditujukan untuk kepentingan lembaga / bersama.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke V
Mungkin terkesan berlebih-lebihan, apa lagi tak ada dalil yg secara eksplisit menyatakan demikian, namun bertitik tolak pada pengalaman panjang dan juga hasil pengamatan tentunya, maka lahirlah sebuah kesimpulan, bahwa salah satu hikmah terbesar dalam kehidupan berjamaah, adalah adanya “tradisi” saling kontrol (mengawasi) antar anggota jamaah, sekalipun tak ada dokumen resmi secara tertulis yg bisa jadi rujukan tentang kemutlakannya.
Pada prinsipnya, setiap orang yg beriman, pasti memiliki kepekaan terhadap orang-orang yg ada di sekitarnya, bahkan dapat ditegaskan, tinggi rendahnya iman seseorang, berbanding lurus dgn sensitifitasnya dalam mengontrol / mengawasi sesama, bukan saja karena kewajiban, namun lebih jauh dari itu, ia merupakan dorongan dari dalam dan bergerak otomatis, yg tak akan pernah rela melihat saudaranya “terjerembab” dalam penyimpangan. Tak adanya rasa peduli, maka patut dipertanyakan keberadaan iman pada dirinya.
Disertakannya kalimat وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالص
dalam kategori orang2 yg tdk akan merugi, setelah iman dan amal saleh, seharusnya menjadi perhatian serius kita semua, bahwa tanpa adanya tradisi itu, maka setinggi apapun iman yg kita miliki dan sehebat apapun karya yg dihasilkan (bahkan sampai yg spektakuler), di mana semua org dipaksa berdecak kagum, niscaya tetap kerugianlah pada akhirnya.
Sudah menjadi takdir ketetapan Allah SWT, bahwa salah satu ciri kesempuranaan manusia, adanya nafsu pada dirinya, yg merupakan sumber dari semua kecenderungan, dan disaat yg bersamaan, ada makhluk yg sdh diberi dispensasi khusus dgn tanpa batasan waktu (dia akan hidup hingga akhir zaman), dimana pekerjaan satu2nya, adalah menggelincirkan anak cucu Adam, dan untuk menujukkan keseriusan menekuni profesi yg menjadi pilihannya, diawalinya dgn sumpah, sebagai bukti nyata akan tekad yg begitu kuat.
Pilihan kata yg kami gunakan, bisa saja terkesan lebay menurut bhs gaul anak2 zaman now, alias terlalu didramatisir, namun bila kita mencoba mencermati, deretan orang2 yg telah menjadi korbannya, khususnya yg diabadikan oleh Allah dalam alquran, maka rangkaian kalimat diatas, masih terlalu sederhana.
Salah satu contoh yg sangat tragis, adalah manusia pertama yg Allah ciptakan, kisahnya sengaja diceritakan berulang-ulang, demi menyentakkan kesadaran hambaNya, betapa dahsyatnya tipu daya Iblis itu sesungguhnya. Dan bila kita tdk serius mengantisipasinya, maka hanya menunggu waktu, kapan giliran kita menjadi korban selanjutnya.
Adalah sebuah ketakabburan yg tdk dapat ditolerir, bila ada manusia yg tetap merasa dirinya aman, yg karenanya tdk perlu ada yg ikut-ikutan “mengawasi” sepak terjanganya, dia segera bereaksi keras bila ada yg mencoba menasehatinya, sebab itu pertanda meragukan keimanannya, akhirnya dia merasa enjoy, jika org2 disekitarnya sdh pada kapok untuk mencampuri urusannya. Sungguh… manusia yg seperti ini, akan menjadi benalu dalam kehidupan berjamaah, sebab dia akan menjadi pintu masuk bagi Iblis, dan membuatnya leluasa mempecundangi para kader yg menjadi incarannya.
SILATNAS dgn seluruh rangkaian acara yg melengkapinya, tak terkecuali kegiatan reuni yg gaungnya jauh2 hari telah membahana, semoga benar2 menjadi media tuk mengingatkan NIAT AWAL kita berkiprah di lembaga ini, guna memproteksi diri dari 1001 macam perangkap yg bisa menggerus cita2 luhur yg sdh terpatri.
Kita ini adalah barisan para PEJUANG, maka marilah kita menunjukkan jati diri sebagai pejuang, yg pola fikir, cara pandang dan standar nilainya, sangat kontras dgn manusia pada umumnya, perkembangan zaman dgn segala dinamikanya, sangat mungkin menggiring kita ikut2an jadi gila, sebagaimana kegilaan yg melanda anak cucu Adam, jangan kembali mengejar apa lagi sampai ikut2an berkompetisi, tuk menggapai hal2 yg justru kita tinggalkan, demi fokusnya kita pada tujuan awal, TEGAK dan TERLAKSANANYA AJARAN ISLAM dalam kehidupan keseharian.
#Bersambung
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke VI
Pada tulisan pertama dalam rangkaian tulisan bersambung kali ini, ada kesimpulan yg lumayan ekstrim, terkait mutlaknya berhijrah bagi orang yg ingin menjadi muslim sejati, kalau merujuk pada istilah yg lagi keren beberapa waktu terakhir, hijrah adalah harga mati. Tanpa hijrah, tak ada cerita Islam.
Namun… untuk melakoni proses hijrah, hanya mungkin bisa dilakukan oleh orang2 yg bermental pejuang, sebab begitu banyak lika liku yg akan dihadapi… dan untuk itu, Allahu Yarham menekankan dari awal, NIAT kita berkiprah dilembaga ini, adalah sebagai PEJUANG
Kaitannya dgn perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah, maka pelajaran lanjutan yg ingin kami garis bawahi adalah
- Berkorban
Perjuangan tanpa pengorbanan adalah kebohongan, dan tingkat keberhasilan yg ingin dicapai dalam sebuah perjuangan, senantiasa berbanding lurus dengan besar kecilnya pengorbanan yg kita berikan.
Berbicara lebih jauh soal besar kecilnya pengorbanan, tdk sedikit org yg kemudian salah kaprah, sebab dia terfokus pada nilai yg dikorbankan, tanpa mau pusing dgn jumlah yg masih tersisa dari apa yg dipunyai.
Padahal, untuk menentukan besar kecilnya sebuah pemberian, sangat tergantung berapa yg masih tersisa. Contoh sederhananya, ketika Rasulullah melakukan “penggalangan dana”, saat itu Umar Bin Khattab merasa sangat bersyukur, sebab beliau meyakini untuk pertama kalinya dapat mengalahkan amalan Abu Bakar, karena saat itu beliau menyerahkan separuh (50 %) dari keseluruhan harta yg dimiliki, namun belum berapa lama, akhirnya beliau lagi2 harus mengakui tingkatan keimanan yg dimiliki Abu Bakar, sebab dia menyerahkan seluruh (100 %) asset yg ia punyai, sampai ketika Rasulullah bertanya, harta apa yg masih tersisa, beliau menjawab, Allah dan Rasulnya.
Secara matematis, sekalipun pemberian Abu Bakar dan Umar digabung menjadi satu, itu masih kecil (kalau tdk mau menggunakan kata terlalu) bila dibandingkan dgn pemberian Abdul Rahman Bin Auf apa lagi pemberian Usman Bin Affan, namun… jika melihat harta yg masih tersisa, maka pemberian Abdul Rahman Bin Auf dan Usman Bin Affan jauh lebih kecil.
Maka dalam konteks ini, sangat mungkin seseorang yg berinfaq 500 ribu, nilainya jauh lebih besar dari yg menyerahkan 5 juta, tergantung pada sisa kekayaan atau asset yg masih dimilikinya, meskipun tak bisa pula dinafikan, bahwa semakin banyak harta yg dimiliki, maka godaannya pun semakin besar, hingga kemampuan dia berinfaq dalam situasi seperti itu, sangat patut pula untuk diapresiasi.
Pertanyaannya kemudian, apa relevansinya pembahasan soal pengorbanan dgn hijrahnya Rasulullah, In Syaa Allah… pada tulisan berikut akan kami bahas….
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke VII
Sudah menjadi ketetapan, bahwa Rasulullah SAW bersama keluarganya tidak diperbolehkan menerima shadaqah dalam bentuk apapun, namun larangan itu tidak berlaku, jika ada pemberian yg statusnya hadiah.
Tatkala Abu Bakar diberitau oleh Rasulullah, bahwa sdh ada perintah untuk berhijrah dan beliau yg diminta membersamai dalam perjalanan ke sana, tak terbayang rasa bahagia yg dialami Abu Bakar ketika itu.
Selanjutnya Abu Bakar mempersiapkan segala keperluan yg dibutuhkan dalam perjalanan, tak terkecuali dua ekor unta pilihan yg akan digunakan sebagai tunggangan, dan meminta Rasulullah memilih mana diantara keduanya yg beliau inginkan.
Namun kemudian terjadi “pertengkaran”, sebab masing2 ngotot dgn keinginannya, Abu Bakar bersikukuh kalau unta itu hadiah darinya dan memohon dgn sangat agar Rasulullah sudi menerimanya, walau akhirnya Abu Bakar harus kecewa dan terpaksa mengalah, sebab Rasulullah lebih gigih bertahan, untuk tetap membayar unta milik Abu Bakar dgn harga standar sesuai harga umum di pasaran.
Bukannya Rasulullah tak paham bila sahabatnya kecewa, sebab terlihat dari ketulusannya memberi dgn status hadiah, tapi ada hal penting lagi mendasar yg ingin diwariskan kepada ummatnya, khususnya yg mengklaim dirinya sebagai mujahid alias pejuang, bahwa perjuangan itu memang membutuhkan *pengorbanan*.
Bila ada seorang pejuang yg tdk siap berkorban, maka hentikanlah mimpimu untuk menggapai keberhasilan, sebab itu adalah sebuah kebohongan besar. Keseriusan kita dalam berjuang, mutlak dibuktikan dgn pengorbanan sejak awal perlangkahan.
Bagi seorang pejuang, tak ada larangan sama sekali untuk bersenang-senang, alias bukan tdk boleh menikmati berbagai fasilitas, apa lagi jika dimaksudkan untuk menopang perjuangannya, namun hal itu sama sekali bukanlah tujuan, murni semata sebagai efek samping, yg merupakan hiburan selingan dari Allah SWT.
Lantas jika ada orang yg ikut-ikutan merasa, kalau dirinya bagian dari lembaga perjuangan ini, namun setiap kali amanah yg diberikan kepadanya, hal pertama yg dipertanyakan, berapa besar tunjangan yg akan diperoleh dan fasilitas apa saja yg akan diterimanya, maka hakekatnya… dia hanyalah pecundang yg akan menjadi beban dalam perjalanan.
Rangkaian tulisan di atas, bukan dimaksudkan untuk menggiring kita semua (khususnya para kader Hidayatullah), agar memberlakukan hukum sebagaimana yg telah menjadi ketetapan bagi Rasulullah dan keluarganya, melainkan murni sebatas peringatan untuk kita ekstra hati-hati, guna mempersempit ruang bagi Iblis, jangan sampai dia leluasa dan seenaknya mengobarak abrik niat suci yg telah menghunjam dalam sanubari.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke VIII
Pada umumnya orang sudah memahami, bahwa salah satu fungsi dari manajemen, adalah efisiensi dan efektifitas, dimana salah satu titik tekan utamanya adalah persoalan waktu.
Islam adalah agama yg sangat menghargai waktu, dgn sekian banyak bukti yg bisa kita paparkan, sebagai argumentasi yg melandasi pernyataan di atas, tentu saja… efisiensi dan efektifitas tak mungkin luput dari perhatian.
Ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka salah satu penopang utama dari efisiensi dan efektifitas, adalah alat bantu dalam melakukan sebuah aktifitas.
Maka menjadi wajar, bila seorang mujahid (pejuang) dalam melakukan tugas2 yg diembannya, juga membutuhkan peralatan, mulai dari yg paling sederhana sampai yg paling tercanggih sekalipun.
Namun… peralatan bukanlah harga mati bagi seorang pejuang, dalam artian… walau tak mempunyai peralatan apapun, dia tetap saja enjoy menerima dan menjalankan kewajibannya. Itulah pejuang sejati.
Sebaliknya… Bila ada yg merasa sebagai kader, kemudian peralatan menjadi syarat mutlak sebagai pelengkap dalam menjalankan tugas, hakekatnya… itulah pecundang asli.
Bila seorg petugas meminta alat bantu dgn cara paksa (karena dijadikannya sebagai persyaratan), itu sdh otomatis menurunkan nilai kekaderannya, apa lagi kalau dia mengambil atau membeli sendiri dgn menggunakan dana perjuangan, tanpa melalui prosedur yg telah disepakati, na’udzu billah kalau sampai ketingkat dia mengklaim sebagai milik pribadi, dan sempurnalah bila digunakan tdk untuk kepentingan perjuangan, melainkan kepentingan pribadi dan keluarganya semata.
Di sinilah letak nilai strategisnya, kenapa Rasulullah ngotot membayar dgn uang pribadi, unta yg dihadiahkan Abu Bakar kepada beliau, demi untuk menginspirasi ummatnya, bila anda telah bertekad menjadi pejuang, maka berkorban adalah harga mati yg tak bisa ditawar.
Sungguh…
Allah S.W.T. Maha Melihat, Dia mengetahui segala gerak gerik anak cucu Adam, baik yg terang2an ataupun yg sembunyi2.
Allah S.W.T. Maha Kuasa, Dia bisa melakukan apa saja yg dikehendakiNya, walaupun seseorang tdk menghendaki dan berupaya maksimal tuk menghindarinya.
Allah S.W.T. Maha Adil, tdk akan ada hambaNya yg didzalimi, sekecil apapun pengorbanan yg diberikan, Dia pasti akan memberi imbalan, di waktu dan tempat yg terbaik, sebagaimana sebaliknya, Allah pasti memperhitungkan, segala bentuk dan jenis penyimpangan, Dia akan memberi hukuman dgn berbagai macam bentuknya, yg akan berujung dgn penyesalan tak berguna, bila sang hamba terlambat menyadari dan bertaubat kepadaNya.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke IX
Salah satu ciri utama dari anak cucu Adam, adalah seringnya lalai alias lupa, karenanya… kita seringkali menjumpai, beberapa ayat dlm alquran sengaja diulang berkali-kali, guna memberi penekanan agar lebih menghunjam dan yg lebih utama, agar kita tak mudah lupa.
Untuk itu, kami ulang sekali lagi… bahwa tingkat *keberhasilan* seorang pejuang dalam penilaian Allah S.W.T, sangat bergantung pada besar kecilnya *pengorbanan* yg diberikan, dan yg pasti… tak ada secuilpun dari pengorbanan itu yg luput dari pantauanNya.
Sejarah panjang perjalanan Hidayatullah dgn segala dinamikanya, hingga sampai ke titik ini, tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu rahasia utamanya, adalah kesiapan para pelakunya dalam berkorban, diawali oleh para assabiqunalawwalun (pendiri, perintis dan santri senior) yg kemudian menular ke para kader pelanjut hingga saat ini.
Satu persatu dari para assabiqunalawwalun telah menghadap keharibaan Allah S.W.T. Teriring doa, semoga beliau2 mendapatkan balasan yg terbaik nantinya, dan tinggallah kami para kader dgn beban dan tanggung jawab yg tidak ringan, guna mempertahankan apa yg telah dicapai serta meningkatkannya di hari2 mendatang.
Bukanlah ungkapan yg mengada-ada, bila kader saat ini memiliki beban yg amat berat, sebab di tengah kehidupan yg makin menggila, di mana arus materialisme makin menjadi-jadi, di saat yg bersamaan… di lembaga kita saat ini, nyaris segalanya telah tersedia, hingga sedikit saja kita lalai, niscaya iman yg terpatri akan ikutan tergerus oleh arus yg sangat deras.
Bukan hal yg mustahil, apa yg dulunya ditinggalkan oleh para senior, sebab dianggap nilainya sangat kecil bahkan begitu rendah, yg hanya akan menodai catatan indah dalam perjalanan sejarah hidupnya, dan yg lebih utama, akan menjadi tambahan beban yg harus dipertanggung jawabkan pada hari perhitungan, justru menjadi incaran kalau tak mau dikatakan jadi rebutan oleh para kader belakangan.
Kegigihan dan kelicikan Iblis dalam memperdayai plus tekanan hawa nafsu dalam diri, bukanlah hal yg mudah untuk disiasati, hingga terkadang… kelihaian dalam mengolah dan merangkai kata, benar-benar hanyalah upaya mengelabui semua pihak, agar terkesan apa yg kita lakukan, segalanya murni demi perjuangan, padahal hakekatnya… justru interes / kepentingan pribadi dan keluargalah yg paling dominan.
Besar harapan kita bersama, kerinduan yg amat dalam terhadap kampus Gn. Tembak dan perjumpaan dgn saudara seperjuangan yg ditandai dgn semangat yg menggebu-gebu tuk datang pada momentum silatnas kali ini, benar2 menjadi media tuk merevitalisasi (menguatkan semangat juang serta pengorbanan yg mulai redup), bahkan sampai ketingkat mereorintasi (akibat niat yg mulai berubah).
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke X
Dalam berbagai kesempatan Allahu Yarham seringkali menyampaikan tentang mahalnya harga seorang kader, yg karenanya butuh perhatian ekstra serius, bagaimana agar kader ini benar2 terpelihara dgn baik, bukan hanya sebagai pion pelengkap dalam perjalanan saat ini, tapi yg lebih utama… merekalah yg akan menjadi penentu, bagaimana nasib lembaga perjuangan ini selanjutnya.
Berbicara lebih jauh tentang kader, yg terlintas dalam benak kita masing2, tentu saja tdk sebatas generasi yg usianya relatif masih muda, tapi lebih jauh dari itu, dia memiliki ciri khusus yg telah menjadi karakter, yg tentu saja sdh melalui berbagai macam proses tempaan.
Mengingat jauhnya jarak yg akan ditempuh, serta beratnya medan yg akan dilalui, dgn seribu satu macam aral yg melintang, maka dapat dipastikan, hanya kader2 pilihan lah yg dapat mengikuti semua ritme dan irama yg ada di lembaga ini.
Sejak awal Allahu Yarham memberikan penekanan yg sangat tegas, bila yg kita buat di lembaga ini sama saja dgn apa yg dikerjakan orang pada umumnya, maka sia2lah keberadaan kita sebenarnya, sebab jauh lebih baik dan efisien, bila kita bergabung saja pada lembaga2 yg sdh ada, dimana mereka memiliki cita2 yg sama, namun memilih jalan yg berbeda, paling tidak… punya skala prioritas sendiri.
Karenanya, kriteria kader yg ingin dilahirkan, tentu juga berbeda dgn standar yg dibuat org pada umumnya, kita bisa lihat dari persyaratan awal diterimanya seseorg menjadi murid / santri atau calon kader, diantaranya:
- Sehat fisiknya.
2. Menarik penampilannya.
3. Cerdas otaknya (punya kemampuan dasar yg mudah dikembangkan).
4. Berduit org tuanya.
5. Pandai bergaul (cakap dlm berkomunikasi).
6. Terampil dalam bidang tertentu.
7. Dll…
Pada poin ini, Allahu Yarham benar2 melakukan sebuah “lompatan” yg sangat ekstrim, dimana tidak pernah ada proses seleksi secara administratif yg beliau lakukan. Tapi semua berjalan secara alamiah, dalam artian, siapa yg mampu bertahan, itulah kader yg sesungguhnya, adapun yg terlempar ditengah jalan, semoga saja mendapatkan tempat yg sesuai dgn harapannya.
Sekali lagi… perjalanan yg akan ditempuh oleh lembaga ini, sungguh amat sangat berat, karenanya… kriteria utama yg dibutuhkan adalah, *ketaatan kader dalam menerima amanah, yg berbanding lurus dgn kesiapannya menanggung semua konsekwensinya*.
Pada paragraf di atas, bukan bermaksud menafikan sekian banyak kriteria umum (sebagaimana 6 poin pada paragraf sebelumnya), namun itu semua menjadi sia2 alias tak berarti, bahkan bisa menjadi beban yg sangat mengganggu, karena terlanjur merasa memiliki nilai lebih dari yg lain.
Rasa lebih yg dimiliki, umumnya berdampak pada tuntutan mendapatkan perlakuan istimewa, mulai dari seenaknya memilih tugas yg sesuai seleranya, sampai berinisiatif melakukan aksi sendiri, meskipun diluar tupoksi yg telah digariskan, yg justru bakal mengacaukan strategi umum yg telah dirancang jauh2 hari dgn perhitungan yg sangat matang.
Tak terbayang bagaimana runyamnya kehidupan dalam sebuah jamaah, bila kadernya bergerak sendiri2 alias tanpa koordinasi. Na’udzu billah bila gerakannya justru dilandasi oleh sebuah kepentingan (interes pribadi) yg tdk sejalan dgn visi misi lembaga.
Karenanya… dalam ajaran Islam, minta izin adalah sebuah keharusan, dan kalau toh diizinkan, mutlak diiringi dgn “istighfar” alias secara khusus dimintakan ampun kepada Allah S.W.T.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XI
Pada suatu kesempatan, Nabiullah Sulaiman melakukan inspeksi “kader”, dan ternyata burung Hud-hud tak nampak dalam barisan, seketika Nabi Sulaiman membuat keputusan dgn tiga opsi;
- Kalau kepergiannya tanpa izin, sungguh aku akan memberi hukuman dgn siksaan yg sangat berat
- Bila yg dia lakukan adalah kelalaian yg merugikan, maka aku akan menyembelihnya.
- Bila dia segera menghadap dan memberi keterangan yg jelas atas ketidak hadirannya, terbuka peluang untuk dia dimaafkan. (Tafsir Al Azhar QS : 27 :20-21).
Dari kisah di atas, kita dpt menarik kesimpulan, betapa kedisiplinan bukanlah hal yg sederhana, hingga ancaman sanksi yg akan dijatuhkan begitu berat, bila ada kader yg bermanuver melakukan aksi / tindakan diluar tupoksi yg telah digariskan, sebab sangat mungkin mengacaukan strategi umum yg telah dirancang.
Karenanya, nilai tertinggi yg dimiliki oleh seorg kader, terletak pada ketaatannya, dan tentu saja dilengkapi dgn kesiapan menanggung seluruh konsekwensi atas ketaatannya tersebut.
Penekanan pada aspek ketaatan, bukan berarti menafikan seluruh keunggulan lain yg dimiliki oleh para kader, namun… itu semua tak ada artinya bahkan menjadi beban, bila diiringi dgn sikap arogan, dimana salah satu wujudnya… ketaatan yg senantiasa bersyarat.
Apa yg dicontohkan oleh Ali Bin Abi Thalib, sungguh merupakan keteladanan yg luar biasa, bagaimana gambaran tentang sosok seorang kader, tatkala dia diminta menggantikan Rasulullah di pembaringan, sesaat sebelum beliau berangkat menuju Madinah.
Ketaatan Ali menerima amanah ketika itu, sekaligus bukti kesiapan berkorban dari seorang kader, sebab konsekwensinya, dia akan menjadi sasaran empuk dari para “pasukan” pilihan yg jumlahnya tdk sedikit.
Membahas lebih jauh tentang ketaatan dan pengorbanan, maka sosok yg paling sering diangkat oleh Allahu Yarham, sebagai prototipe kader yg paling ideal, adalah Nabiullah Ismail AS, yg siap menerima keputusan apapun dgn segala resikonya, termasuk menyerahkan lehernya untuk disembelih, walau sumber perintahnya hanya melalui mimpi.
Pertanyaan besarnya kemudian, modal apa yg dimiliki oleh Ibrahim, hingga bisa melahirkan kader sekelas Ismail, yg begitu mudah untuk menerima dan menjalankan keputusan yg se ekstrim itu, yg bila ditinjau dari segala sisi, sangat sulit diterima oleh logika.
Bila kita gagal menangkap dan menyerap rahasia utama dibalik kesuksesan Ibrahim, maka wajar… bila kita semua pesimis dalam menyongsong hari2 mendatang.
Namun sesungguhnya… Apa yg telah dilakukan oleh Allahu Yarham pada masa2 awal, masih sangat mungkin untuk kita adopsi dalam konteks kekinian, agar lembaga kita ini, tak hanya melahirkan alumni, yg maksimal bisa “diikat”, sebatas satu atau dua tahun masa pengabdian.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XII
Ketaatan seorang kader pada keputusan yg tdk bertentangan dgn syariat, baik itu perintah maupun larangan, hakekatnya adalah harga mati yg tak bisa ditawar.
Bila ketetapan pemimpin tdk sejalan dgn keinginan, apa lagi sampai bertentangan dgn logika, disanalah akan teruji nilai kekaderan seseorang, apa kah niatnya masih murni, atau memang sdh terjadi degradasi.
Namun demikian… Dalam catatan sejarah, para kader Rasululllah pernah mengalami ujian yg sangat dahsyat, dan terbukti… tak seorangpun yg bergeming mengikuti perintah Rasulullah ketika itu.
Berawal dari kekecewaan para kader, karena sikap kompromi yg dilakukan Rasulullah, terhadap seluruh poin pada perjanjian hudaibiyyah, yg menurut penilain mereka sangat merugikan ummat Islam.
Akibatnya… Tatkala Rasulullah memerintahkan untuk mencukur rambut, bahkan perintah itu diulang sampai 3 kali, tak seorangpun kadernya yg mau melakukannya.
Terbayang bagaimana hancurnya perasaan seorg pemimpin, tatkala menyaksikan realitas kadernya yg seperti itu, namun Alhamdulillah… semuanya berakhir dgn sangat indah, berkat saran dari istri yg mendampingi beliau ketika itu, yakni Ummu Salamah.
Kelihatannya ide Ummu Salamah sangat sederhana, namun efeknya amat dahsyat, sekaligus memberikan pelajaran yg luar biasa bagi sebuah jamaah yg ingin meneladani perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya.
Salah satu pelajaran yg dapat kita petik dari peristiwa di atas adalah, bila berbicara tentang pengorbanan, walau hanya sebatas memotong rambut, faktor keteladanan sangat mutlak adanya.
Karena tingkat keberhasilan perjuangan, sangat bergantung pada sejauh mana kesiapan para mujahid berkorban, maka konsekwensi logisnya (sebuah keharusan yg tak bisa dielakkan), para murabbi dituntut menjadi teladan dalam soal ini. Rambut… hakekatnya hanyalah simbol dari segala jenis pengorbanan dlm perjuangan, khususnya dalam konteks kekinian dan kedisinian kita.
Jangan pernah bermimpi, menuntut para kader habis2an (banting tulang, peras keringat, menguras energi dan menghabiskan waktu) untuk perjuangan, bila di waktu yg sama, para tokoh yg seharusnya jadi panutan, malah sibuk memikirkan diri dan keluarganya.
Tak terbayang… betapa kecewa dan perihnya perasaan para kader, bila mereka dituntut “mencukur rambut”, namun para pembesar malah sibuk “merawatnya”, bukan hanya “memanjangkan”, tapi malah setiap saat “model dan warnanya digonta ganti”, karena dgn sangat mudah memilih, “salon” mana lagi yg hendak dia masuki.
Catatan seorang santri,
Menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XIII
“
Menyambut Silatnas 2018
“Jika Guru Kencing Berdisi, Maka Murid Akan Kencing Berlari.”
Pepatah di atas sdh menjadi pemahaman umum, bahwa seperti itulah konsekwensi logisnya, jika dalam sebuah komunitas, org2 yg seharusnya menjadi panutan, malah melakukan hal2 yg tdk patut, niscaya anggotanya akan berbuat yg lebih parah.
Karenanya… Tanggung jawab para pemimpin itu tdklah ringan, sebab seluruh tindakan dan perilakunya, akan menjadi “sorotan” kadernya, apa lagi di era teknologi informasi yg sangat canggih seperti saat ini, di mana nyaris tak ada rahasia yg bisa disembunyikan, dan dlm hitungan detik, informasi sdh tersebar ke-mana2.
Jangankan sekedar memanfaatkan waktu di saat jam kerja untuk kepentingan pribadi, sampai ketingkat menyiasati aturan sekalipun, mereka akan sangat sensitif dlm memberikan penilaian. Apa lagi jika secara nyata ada perilaku yg tdk prosedural.
Generasi milenial saat ini, sdh punya logika sendiri. Mereka begitu mudah menilai, mana yg murni dan mana yg hanya sandiwara, walau ditopang dgn keahlian merangkai kata plus kemampuan dalam beretorika.
Satu hal yg patut kita syukuri, khususnya yg berkecimpung dalam wadah Hidayatullah, budaya saling kontrol dlm bentuk tawasau bilhaq masih berjalan, termasuk dlm momentum SILATNAS yg sdh di depan mata.
Namun demikian…
Tdk ada garansi untuk wadah kita ini tetap aman, bila sedari awal kita kurang waspada dan cenderung bermain api, maka lembaga kita hanya akan menambah jumlah komunitas yg lagi2 mengecawakan ummat.
Apa yg dilakukan Ust. Abdullah Said, mungkin terkesan sangat ekstrim, apa lagi tak ada dalil secara eksplisit yg menyatakan demikian. Namun didorong rasa tanggung jawab, dan keinginan besar memberikan keteladanan, sekaligus sebagai garansi kepada para kadernya, untuk tdk ragu melibatkan diri dlm perjuangan ini, maka dgn tegas beliau nyatakan:
“Bila di hari esok, saya telah menghadap kehadirat Ilahi, maka saya jamin, tak ada warisan yg sifatnya materi buat istri dan anak keturunan saya, jika diantara mereka ada yg keluar dari lembaga ini, maka tdk ada asset lembaga yg boleh diklaim, dgn alasan peninggalan suami atau ayahnya”.
Spirit Allahu Yarham itulah sesungguhnya, yg membuat para kader assabiqunal awwalun terkesan seperti orang gila, nyaris tdk menggunakan akal fikiran, bila ada tugas yg diberikan, dan segala hal yg dimilikinya siap dikorbankan.
Jika spirit seperti ini mampu dipertahankan bahkan trus dikembangkan, maka terbayang betapa dahsyatnya perkembangan lembaga ini ke depan.
Pernyataan di atas, bukanlah hal yg mengada-ada, sebab dgn kapasitas ilmu yg betul2 di bawah standar, para kader awal sdh menunjukkan hasil kerja yg spektakuler.
Niat yg benar, dilengkapi kesiapan mengorbankan apa saja yg dimiliki, inilah yg membuat kenapa lisan para kader itu seperti “berbisa”, dimana setiap org yg mendengarkan ucapannya sangat mudah “tersengat”, meskipun seringkali tdk ada ayat dan hadits yg melengkapi setiap ungkapan yg dilontarkan.
Bersambung.
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XIV
Ibarat harimau bersayap, itulah salah satu gambaran kader yg diidam-idam kan oleh Allahu Yarham, harimau tanpa sayap, sdh mendapat gelar raja hutan, maka terbayang seperti apa jadinya jika dilengkapi dgn sayap.
Menyaksikan sepak terjang para kader Hidayatullah sekian lama, niscaya org akan berkesimpulan sama… betapa keberanian, semangat juang, kerja keras dan kreatifitasnya di lapangan sangatlah menonjol.
Rentetan kelebihan yg kami paparkan di atas, yg menjadi alasan kenapa Pak Yusuf Kalla memberi gelar kepada para kader Hidayatullah, dengan sebutan *”kopasusnya”* para santri.
Bila setiap org mencermati dgn benar, bagaimana perjalanan para kader, khususnya yg terlibat langsung dalam perintisan hingga berkembangnya amal usaha dan badan usaha milik lembaga, niscaya gelar itu bukanlah hal yg mengada-ada.
Namun… Dgn jiwa besar dan penuh kejujuran, kami para kader juga tdk bisa lari dari kenyataan, dari semua jenis keunggulan yg dimiliki sekian lama, ada satu kekurangan yg amat dirasakan, yakni ilmu para kader sangat di bawah standar.
Berangkat dari kesadaran tersebut, ditambah dgn keyakinan bahwa tahapannya sdh tiba, maka para pemangku amanah di lembaga ini, mulai memberikan perhatian ekstra serius, dalam bentuk pembenahan lembaga2 pendidikan yg ada, dan juga menugaskan para kader untuk menimba ilmu di lembaga2 lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
Mempertahankan apa yg sdh dicapai sekian lama, bukanlah hal yg mudah, apa lagi mencoba menapaki tahapan baru, maka pasti membutuhkan energi yg lebih besar, dan di sinilah letak tantangannya.
Ada keyakinan yg sangat kuat, bila karakteristik yg sekian lama sdh melekat pada diri seorang kader, lalu dilengkapi dgn ilmu pengetahuan yg memadai, maka inilah gambaran dari sosok harimau bersayap itu.
Selesainya proses pendidikan S3 yg dilalui oleh Ketua Umum DPP, adalah bukti nyata dari keinginan besar lembaga memasuki tahapan ini, dan semoga menjadi pelecut semangat para kader secara menyeluruh.
Tanpa bermaksud melemahkan apa lagi terkesan meremehkan, namun… bila sampai perhatian kita kebablasan pada sektor ini (hanya fokus pada prestasi akademik), sementara karakter awal yg merupakan ciri utama kader Hidayatullah malah terabaikan, justru akan menjadi bumerang.
Ilmu pengetahuan yg didapatkan lewat lembaga pendidikan formal, yg ditandai dgn deretan gelar akademik, hakekatnya ibarat senjata super canggih bagi seorang prajurit, yg tentunya menjadi pelengkap luar biasa.
Akan tetapi… apalah artinya senjata super canggih, bagi seorang prajurit yg tdk memiliki karakter dasar yg seharusnya melekat pada dirinya. Maka jangan bermimpi untuk bisa memenangkan pertarungan, malah yg terjadi bisa sebaliknya, keberadaan mereka justru menjadi asbab melemahnya semangat juang prajurit2 yg lain.
Sejatinya… lembaga pendidikan formal seharusnya menjadi media yg paling ideal untuk membangun karakter positif, di mana para alumninya tampil menjadi solusi terhadap sekian banyak masalah yg mendera kehidupan masyarakat moderen.
Namun arus materialisme yg kian deras, nyaris menyentuh semua aspek kehidupan, sehingga orang benar2 kesulitan untuk menyelamatkan diri. Celakanya… arus tersebut juga merembes ke lembaga2 pendidikan formal, hingga keuntungan materi, menjadi ukuran utama keberhasilan. Nau’dzu Billahi Min Dzaalik…
#Bersambung apa #Rehat
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XV
Uang bukanlah segala-galanya. Namun… dalam konteks kehidupan saat ini, segala-galanya butuh uang. Seberapapun banyaknya duit yg dimiliki, tetap saja tak dibawa mati. Namun… bila tak punya duit, perasaan kaya mau mati.
Pada tataran kehidupan normal, apa yg tertuang di atas, adalah sebuah gambaran realitas yg benar2 nyata adanya, dan kita semua nyaris tak bisa menyangkalnya. Pada dasarnya… uang hanyalah simbol yg mewakili semua aspek materi, dan manusia tak mungkin berlepas diri darinya, sebab itu adalah bahagian yg sdh menjadi takdir / ketentuan Ilahi.
Namun…
Bila materi yg merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, berubah menjadi isme, di mana dia merupakan faktor yg paling menentukan dan otomatis menimbulkan ketergantungan, maka degradasi spiritual, menjadi sebuah keniscayaan.
Salah satu hal yg paling mengerikan (mengkhawatirkan), bila kemudian institusi pendidikan terkena imbas dari materialisme itu, dan tdk ada upaya serius untuk mengatasinya, maka tamatlah harapan kita untuk masa depan.
Kesimpulan pada paragraf di atas, bukanlah hal yg mengada-ada dan tdk pula berlebih2an, sebab ada beberapa bidang strategis dalam kehidupan moderen saat ini, dimana memerlukan keahlian yg hanya bisa diisi oleh lepasan institusi pendidikan formal.
Nafsu dalam diri plus pengaruh Iblis dari luar, adalah sebuah kombinasi kekuatan yg amat dahsyat, dan dia punya 1001 kiat untuk memperdayai setiap orang. Dia selalu dan tak pernah kehabisan cara, lengkap dgn argumentasi yg sangat rasional, yg tentu saja memiliki sistem penjelas yg sangat hebat, ditopang oleh kematangan berfikir dan kemampuan merangkai kata, plus retorika di atas standar rata2. Kuatnya sebuah idealisme dan ditandai dgn spiritual yg memadai, hanya bisa diperdayai dgn cara yg sangat halus, tentu saja melalui proses yg juga tdk instan, maka umumnya orang benar2 tdk sadar, bila ternyata mereka sdh menjadi korban selanjutnya.
Salah satu ciri utama terjadinya degradasi idealisme / spiritual, adalah adanya kompromi2 yg dilakukan, meskipun awalnya sangat pelan dan hanya menyentuh hal2 yg tdk terlalu prinsip, sehingga semua orang dipaksa untuk memakluminya dan dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Namun…
Karena prosesnya terus berjalan, hingga tanpa sadar… komprominya jadi kebablasan, bukan lagi bermain api pada hal2 yg statusnya syubhat dan makruh, sampai yg haram pun akan diterjang.
Berbicara lebih jauh tentang materialisme, sesungguhnya tidak hanya sebatas syubhat, makruh dan haramnya sebuah proses yg dilalui dalam upaya menggapai sesuatu yg didambakan, bahkan sampai yg halal sekalipun… bisa berekses pada tergerusnya nilai2 luhur dan sangat prinsip dalam sebuah jamaah.
Murninya *NIAT* seorang kader, pasti ditandai dgn ketaatan menerima setiap keputusan, dan kesiapan *BERKORBAN* adalah ciri utama dari seorang yg mengklaim dirinya sebagai mujahid alias pejuang.
Kedua poin di atas, sangat mungkin terciderai bahkan berdampak sangat fatal, di mana pemicu utamanya adalah karena faktor materi dgn segala bentuknya… dan itulah yg digaris bawahi oleh Allah S.W.T. dalam firmannya QS : 9 : 24
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XVI
Tak dapat dipungkiri, bahwa ada beberapa faktor yg bisa jadi penyebab, ketaatan seorang kader mulai luntur, namun salah satu pemicu utamanya, adalah karena persoalan materi.
Masing2 org bisa saja membuat alibi sebagai upaya membela diri, jika tanpa sadar, dia termasuk kader yg ketaatannya mulai pula terganggu.
Namun…
Ayat 24 pada surah ke 9, Allah sampai merinci 8 macam faktor, yg bisa menjadi ujian berat bagi setiap anggota, dalam menjalani proses pengkaderan yg dilaluinya… yg bila kita ingin meringkasnya, terdiri dari 4 poin besar:
1. Keluarga (orang tua, anak, saudara, pasangan & keluarga secara umum)
2. Asset
3. Sumber pendapatan.
4. Rumah (tempat tinggal)
Jila salah satu (apa lagi lebih) dari 8 poin di atas, menyebabkan kita melakukan “pembangkangan”, maka… sebagaimana yg tercantum pada ujung ayat, kita bisa termasuk kategori org2 fasik yg tdk akan mungkin mendapatkan petunjuk, dan hanya menunggu waktu, “hukuman” apa yg Allah akan berikan. Nau’dzu billahi min dzaalik.
Berbicara soal ketaatan seorg kader, khususnya pada aspek pengorbanan, maka faktor uswah memiliki peran yg sangat strategis, dan itu yg dicontohkan Rasulullah, baik saat ngotot membayar unta Abu Bakar maupun ketika memulai memotong rambut pasca perjanjian hudaibiyyah.
Dan bila kita mengamati secara jeli, niscaya kita akan menemukan, bahwa salah satu modal terbesar yg dimiliki Ismail, hingga begitu mudah dia menyerahkan lehernya untuk disembelih, adalah karena adanya keteladanan itu.
Keteladanan yg kami maksudkan adalah, keyakinan bahwa Allah tdk akan mendzalimi seorg hamba yg taat akan perintahNya, dan yakin akan kekuasaanNya yg bisa berbuat apa saja, bila sdh menjadi kehendakNya, sampai ketingkat yg sangat tdk logis dan diluar jangkauan nalar.
Terkait soal keyakinan pada dua poin di atas, itu yg disaksikan oleh Ismail dan diperagakan dgn sangat baik oleh ibundanya St. Hajar, saat ada SK “penugasan” di kota Makkah.
Penugasan yg diterima oleh Hajar ketika itu, bukan hanya sebatas modal tiket tiba di tempat, sebagaimana cerita yg dilakoni oleh assabiqumal awwalun ketika merintis “cabang” pertama kali. Tapi jauh lebih ekstrim dari itu.
Hajar bukan saja seorang wanita dgn segala “keterbatasannya”, tapi dia juga punya tambahan beban seorang bayi yg harus dihidupinya, saat di tempat tugas tdk ada bekal sama sekali.
Jangankan simpatisan, apa lagi donatur yg siap membiayai seluruh kebutuhan, bahkan sebatas mencari org buat diajak berkomunikasi juga tdk ada.
Bagaimana mungkin ada orang yg bisa tinggal di tempat seperti itu, yg dalam ayat 37 surah ke 14, Allah sendiri yg menyatakan بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ
Lembah yg tdk ada tanaman (rumput pun tdk ada yg tumbuh).
Ketaatan dgn model seperti Hajar inilah sesungguhnya, yg menjadi modal luar biasa, dan memancing sekian banyak keajaiban setelahnya.
#Bersambung
Catatan seorang santri, menyambut SILATNAS HIDAYATULLAH thn 2018
Tulisan ke XVII
Seorang salesman tiba-tiba menghadap ke manajer pemasaran dgn mengajukan dua opsi, diberi tugas yg lain atau dia mengundurkan diri.
Tuntutan ini dipicu oleh rasa frustasi, setelah mencoba berbagai teori yg diajarkan, namun tak satupun org yg berminat membeli jaket yg dia pasarkan.
Yg menarik kemudian, sang manajer memberi kesempatan satu kali lagi, dgn terlebih dahulu memintanya menggunakan jaket itu, lalu tanpa basa basi, ia mengeluarkan senjatanya dan memberondong sang sales hingga pelurunya habis.
Ajaib…!!! ternyata tak satupun peluru yg menembus jaket yg dia gunakan, dan setelah itu dia dgn begitu antusias memasarkan jaket tersebut, dan dlm waktu singkat jaketnya habis terjual.
Sang manajer kemudian memberi penjelasan pada sales tersebut, “kenapa kemarin jaket itu tak diminati org?, sebab kamu sendiri belum yakin dgn apa yg kamu pasarkan, sehingga semua teori menjadi tak berguna, tapi setelah kamu yakin se-yakin2nya, dgn begitu mudahnya kamu meyakinkan org lain”.
Inilah rahasia yg dimiliki oleh Ibrahim, kenapa begitu mudah meyakinkan St. Hajar untuk ditinggal di negeri yg tandus ketika itu, dan Ismail tanpa ragu menyodorkan lehernya untuk disembelih, sebab keduanya terhipnotis oleh arus keyakinan suami dan ayahnya.
Kekuatan keyakinan yg ditunjukkan Ibrahim ketika itu, bukan pada kemampuan dia merangkai kata dgn sekian banyak dalil pendukung, namun murni dari rangkaian pengalaman yg spektakuler, diantaranya saat dibakar diatas tumpukan kayu yg melibatkan semua penduduk negeri, namun saat kayu hangus terbakar tanpa sisa, Ibrahim tetap saja segar bugar tanpa sesentipun kulitnya yg melepuh.
Berangkat dari pengalaman itulah, sehingga dgn sangat mudahnya dia “menyihir” istri dan anaknya, hingga tak ada keraguan sedikitpun yg bisa memicu pembangkangan.
Kisah yg kami paparkan di atas, sejatinya menjadi inspirasi Allahu Yarham dalam menggembleng para kadernya, sehingga dgn begitu mudah memberi amanah, betapapun beratnya, walau dgn modal yg sangat minim.
Maka menjadi wajar, bila kader2 awal, sekalipun tak mampu baca kitab gundul, bahkan kitab “gondrong” sekalipun terkesan masih ter-bata2, tapi saat dipersilahkan berbicara, org betul2 dibuat terkesima dan tdk punya alasan untuk tdk terpesona, meskipun seringkali keliru ketika membaca ayat, dan jangan pernah bertanya apa judul kitab & siapa pengarangnya, bila kemudian sesekali ia mengutip sabda Rasulullah S.A.W.
Melihat fenomena yg kami paparkan diatas, maka sungguh sangat beralasan, bila para kader Hidayatullah sangat optimis menyongsong masa depan.
Sebab modal yg sangat terbatas, sdh mampu melahirkan karya2 yg luar biasa, apa lagi setelah kesadaran untuk membekali diri dgn ilmu sdh hampir merata. Inilah *harimau bersayap* itu sesungguhnya.
Namun… keyakinan alias iman tak selamanya berada pada posisi stabil, dia kadang naik dan kadang turun, bahkan dalam ayat dinyatakan, iman itu bisa masuk dan bisa keluar.
Inilah pertanyaan besar yg harus dijawab oleh para kader saat ini, masihkah kita siap dan punya keberanian untuk “dibakar” sebagaimana Ibrahim, hingga mudah untuk meyakinkan org, atau keyakinan kita telah tergerus oleh paham materialisme yg cenderung memaksa kita untuk selalu mengedepankan logika.
Berhubung hari ini sdh pembukaan Rakernas, sementara catatan ini kami hinggakan… sampai jumpa dilain waktu & kesempatan, terima kasih atas apresiasinya, mohon maaf atas segala kekurangan & kekhilafan, kami tunggu saran dari pemirsa sekalian.
Selamat Rakernas dan Silatnas buat seluruh kader Hidayatullah….
50 thn Hidayatullah dalam hitungan Hijriah.
Tulisan ke lima
Pada paragraf terakhir tulisan kemarin, sangat mungkin untuk disalah pahami, seolah para kader Hidayatullah yg saat ini bergelut dalam dunia pendidikan formal, di mana hasilnya ditandai dengan selembar ijazah plus gelar yg mengiringinya, adalah gambaran sosok kader yg telah menyimpang dari khittah Hidayatullah.
Namun, jika melihat konteks tulisan secara utuh, akan mudah dimengerti, bahwa sikap dan ketegasan Allahu Yarham terkait soal tersebut, yg berimbas kepada seluruh kader pada masa itu, salah satu faktornya karena persoalan skala prioritas.
Sudah terlalu sering terungkap, bagaimana jadinya Hidayatullah, kalau masa perintisan dan pertumbuhan, lantas fokusnya justru pada eksisnya lembaga pendidikan formal. Akan makin mengerikan, jika para pengelolanya tidak cukup kuat bertahan, menghadapi gelombang arus materialisme yg terus makin menggila.
Banyak persoalan mendasar yg sangat urgen untuk menjadi perhatian kita bersama, khususnya pada lembaga pendidikan formal, agar alumni yg ditelorkannya tidak menyerupai keledai sebagaimana firman Allah pada QS. 62 : 5. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, jika sejak awal pondasi penopangnya tidak memadai.
Tidak sedikit (kalau tidak mau dikatakan semua) orang yg hanya melihat dan mendengar secara sekilas, bagaimana cara pengelolaan lembaga pendidikan formal di zaman Allahu Yarham, khususnya di kampus yg sekarang dinamai sebagai Kampus Induk Gunung Tembak, penilaiannya tak lebih dari sekedar lembaga “sampah”, yg tentu saja para alumninya sudah bisa dibayangkan, bagaimana wujud akhirnya.
Bukanlah hal yg mengeherankan, jika pada masa awal Hidayatullah, khususnya lembaga pendidikannya, bukan lagi hanya dilirik sebelah mata, bahkan sampai ke tingkat menjijikkan untuk dilihat. Maka tak heran, mayoritas para santri pendidikan kala itu, hanyalah kumpulan orang-orang yg memang tidak sanggup berkompetisi dengan murid-murid lain di berbagai sekolah, apa lagi yg masuk kategori favorit.
Ketidak sanggupan seorang murid berkompetisi di berbagai sekolah, umumnya karena faktor ekonomi, kapasitas otak yg kurang memadai, dan ada juga karena faktor fisik, tak terkecuali yg bandelnya tidak ketulungan, sehingga orang tuanya sudah menyerah. Karenanya, Hidayatullah menjadi tempat pelarian terakhir.
#BERSAMBUNG
Subhanawllah.saya jg baru dtggl istri tercinta tgl 6 juni 2023 kmrn rindu ini teramat sangat berat dan sesak didada namun…
MasyaAllah Semoga bayi yang dititipkantersebut akan menjadi penerus pimpinan di kampus tersebut
yaa robb....kangen kamu...
Mantap Bang Sakkuru Muhammaddarrasullah!
Sama yg saya rasakan betapa rindunya saya dengan almarhumah istriku. 6 bulan berlalu kepergianya